Dilema Santunan Kematian Pemkab Mura, Janji Politik Omon Omon Mengabaikan Sisi Kemanusian

*Oleh : Fauzan Hakim,S.Ag

Musi Rawas, Sabtu, 4 April 2024

SESUAI visi misi Bupati Musi Rawas (Mura), Ratna Machmud, dan wakil Bupati, Suwarti, ingin mewujudkan Musi Rawas yang Maju, Mandiri dan Bermartabat (MANTAB), maka Pemerintah Kabupaten Musi Rawas telah melaksanakan salah satu bentuk kepedulian sosial yaitu berupa santunan bagi warga meninggal guna meringankan beban keluarga yang ditinggalkan.

Bacaan Lainnya

Sejak launching di Bulan April 2021 lalu, program atau kegiatan sosial ini terus digulirkan tanpa ada kendala.
Namun belakangan ditemukan beberapa permasalahan serta keluhan dari keluarga ahli musibah terkait persyaratan permohonan.

Disaat suasana duka yang masih dirasakan ahli musibah. Mereka harus dihadapkan dengan permasalahan birokrasi yang ruwet dan berbelit bahkan melelahkan. Miris serta membingungkan. Itulah yang dialami oleh orang tua almarhum, Sumiati (40) yang beralamat Jalan Jambi RT 03 Kelurahan Terawas Kecamatan STL, Ulu Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Berikut kronologisnya. Jumat, (4/5/2024), di rumah duka, Sumiati, orang tua korban meninggal kepada penulis menceritakan. Di pertengahan Bulan Ramadhan, Maret 2024, tepatnya di RT 03 Kelurahan Terawas, Kecamatan STL Ulu Terawas, keluarganya tertimpa musibah kematian anak putra kesayangan berusia 1,4 bulan. Awal April 2024, ia didampingi staf Pemerintah Kecamatan, mengusulkan surat permohonan santunan kematian ke Dinas Sosial Kabupaten Musi Rawas.

Di tengah proses pengajuan permohonan, orang tua almarhum yang saat itu didampingi seorang staf Kecamatan, memberitahukan bahwa berkas permohonan santunan ditolak oleh pihak dinas sosial. Penolakan berkas permohonan dilakukan sebab terkendala kurangnya persyaratan dimana almarhum belum terdaftar di Kartu Keluarga (KK) dan belum memiliki akta kelahiran.

Hal itu kemudian dibenarkan oleh pihak dinas sosial (dinsos) yang menerangkan bahwa bagi korban yang tidak terdaftar di KK dan tidak memiliki akta kelahiran, berkas permohonan tidak bisa diproses. Karenanya Dinsos menyarankan persyaratan tersebut harus dipenuhi, jika tidak dipenuhi, harapan menerima santunan akan sulit diwujudkan.

Demi sebuah harapan, saran itupun kemudian dituruti. Saat itu, kendati kecewa diliputi dalam situasi berduka orang tua almarhum yang saat itu masih ditemani staf kecamatan langsung mendatangi kantor dinas catatan sipil di Muara Beliti guna melengkapi berkas yang kurang yaitu permintaan diterbitkan akta kelahiran. Karena almarhum tidak terdaftar di KK, proses penerbitan akta tak bisa dilakukan. Tak mau pusing iapun pulang. Akhirnya sejak saat itu orang tua almarhum tak lagi mengurus atau mengajukan usulan santunan tersebut.

Dari peristiwa ini telah menimbulkan rasa keprihatinan bagi penulis yang sudah barang tentu mengundang pertanyaan dibenak kita. “Serumit itukah birokrasi yang harus ditempuh pihak keluarga musibah saat mengajukan permohonan berkas santunan kematian? Jika kebijakan ini yang ditetapkan, hal ini sudah barang tentu akan menjadi dilema yang akan menyulitkan warga atau ahli musibah dalam memenuhi persyaratan permohonan. Lalu buat apa diadakan program santunan, sementara untuk mengurus persyaratan administrasinya saja sebegitu sulitnya. Apa tidak sebaiknya dihentikan saja program ini dari pada menimbulkan permasalahan.

Penulis tidak pada posisi menyerang, tetapi naluri sebagai insan tidak dapat dipungkiri. Setidaknya merasakan betapa menderitanya bagi mereka yang tertimpa musibah. Disaat suasana berduka harus dihadapkan dengan rentang birokrasi yang ruwet dan berbelit. Namun tentu saja, kendati dirasa memberatkan upaya mendapatkan santunan tetap dilakukan, selain dapat meringankan beban disaat duka, uang santunan itu juga merupakan program dari Pemerintah Kabupaten Musi Rawas, sayang bila tidak diusulkan.

Bagi penulis perkara santunan kematian adalah perkara kemanusiaan tak seharusnya dibuat ruwet. Bahkan persyaratan atau administrasi apapun itu bisa disederhanakan. Ada banyak sisi yang mesti dijadikan pertimbangan. “Masa’ orang sudah meninggal harus dibuat akta kelahiran atau didaftar di Kartu Keluarga. Dimana akal waras kita? Apakah tidak cukup dengan surat keterangan atau akta kematian atau surat keterangan domisili dari Pemerintah setempat, sebagaimana telah diberlakukan di Peraturan Bupati sebelumnya, yang belakangan dicabut.”

Karena itu kebijakan ini patut dipertanyakan. Pemerintah Kabupaten Musi Rawas dalam hal ini Dinas Sosial  atau terkait, harus mengkaji ulang tentang prosedur tentang persyaratan penerima uang santunan ini. Ada banyak cara yang bisa dilakukan.

Tetapi memang, harus kita akui. Adanya sebuah dilema dalam perkara ini, persoalan dilematis antara tugas dan tanggung jawab sebagai aparatur Pemerintah dan tanggungjawab sebagai makhluk sosial yang tentunya rentan menimbulkan masalah. Terutama terkait penggunaan uang Negara. Namun demikian hal itu tidak dapat dijadikan alasan sebagai dalih ketika datang permasalahan.

Melihat kondisi dan fakta lapangan, penulis berpendapat, apa tidak sebaiknya anggaran Santunan Kematian dianggarkan melalui Kecamatan. Tujuannya memperpendek jarak transportasi dan rentang birokrasi. Cara ini lebih mempermudah proses permohonan hingga realisasinya, termasuk pengurusan Akta Kelahiran yang seharusnya bisa dipermudah.

Selain itu cara yang juga memudahkan dan tak memberatkan, Pemkab dalam hal ini Dinsos bisa saja membentuk tim khusus yang menangani persoalan ini dan bisa turun ke lapangan atau ke rumah duka guna memastikan kebenaran data korban dan langsung memverifikasi berkas persyaratan yang akan diajukan.

Sekedar mengingatkan, bahwa semua program Pemerintah, apapun namanya akan terkait langsung dengan anggaran atau kemampuan Keuangan Daerah setempat, jangan sampai menimbulkan persoalan dikemudian, ketika Pemerintah Daerah dihadapkan kesulitan terkait permasalahan keuangan. Karena itu diperlukan kajian secara mendalam (komprehensif) sebelum menentukan kebijakan, jangan hanya omon-omon, meminjam istilah Calon Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Dari uraian diatas, patut diduga, bahwa penyebab dari keruwetan atau terjadinya polemik ini tak lain karena dicabutnya Peraturan Bupati lama, yang kemudian digantikan Peraturan Bupati yang baru. Contoh, salah satu bunyi pasal 3 di dalam Peraturan Bupati Musi Rawas nomor 5 tahun 2023, tentang kriteria Penerima Santunan Kematian yang belum lama diterbitkan, Pada Bab III ayat (1), huruf c, menyebutkan bahwa masyarakat yang mendapatkan santunan kematian salah satu kriterianya adalah masyarakat yang orang tua /walinya mempunyai KK dan yang bersangkutan terdaftar dalam KK dan/atau Akta Kelahiran/surat kelahiran.

Berbeda dari Peraturan Bupati sebelumnya yaitu Peraturan Bupati nomor 8 tahun 2021 tentang Pedoman Pemberian santunan Kematian. Pada Bab V pasal 6 ayat (1 ) huruf e, yang menyebutkan syarat penerima santunan kematian cukup dengan surat keterangan Domisili bagi yang tidak memiliki KTP atau KK. Demikian juga tentang akta kelahiran yang sebenarnya tak perlu dipersoalkan. Telah dijelaskan pada Bab III pasal 4 ayat (1 ) huruf d, bahwa bagi korban tidak memiliki akta kelahiran dimungkinkan bisa digantikan dengan surat keterangan kelahiran.

Jadi, dari penjelasan bunyi pasal yang tertuang di Perbup yang belum lama dikeluarkan itu, telah terjadi pengetatan atau penyempitan tentang petunjuk atau pedoman pemberian penerima santunan kematian. Sementara pasal-pasal di Perbup lama yang mengatur tentang persyaratan yang memudahkan, tidak dimasukan di Perbup baru, lalu kemudian diganti dengan pasal-pasal yang justru mempersempit ruang bagi kriteria atau persyaratan penerima santunan, dari sinilah timbul pokok permasalahannya.

Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Musi Rawas dalam hal ini Bupati Musi Rawas, Ratna Machmud dan jajarannya, DPRD, dan terkait lain, segera melakukan kajian ulang terkait penerbitan Peraturan Bupati nomor 5 tahun 2023. Menjelaskan ke publik tentang alasan yang mendasari terjadinya pergantian Perbup tersebut, terutama yang berkenaan dengan prosedur persyaratan atau pedoman penerima santunan. Jangan sampai terjebak pada regulasi yang terkadang syarat kepentingan demi melanggengkan kekuasaan.

Satu hal yang harus dipahami bahwa segala bentuk peraturan perundang undangan dibuat dalam rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat, bukan sebaliknya, yang justru malah merugikan sehingga menyebabkan ketimpangan (disparitas). Dan harus pula diingat bahwa pertimbangan sisi kemanusiaan jauh lebih penting ketimbang kepentingan politik sesaat ketika menentukan kebijakan ataupun ketika membuat Peraturan Perundang-undangan.

Jangan hanya karena alasan memenuhi janji-janji politik, lalu melaksanakan program tanpa melakukan kalkulasi dan pertimbangan yang matang. Oleh karena itu penulis menyarankan dan berharap kepada para pemangku kebijakan dan calon pemimpin mendatang untuk lebih berhati-hati saat menentukan kebijakan ataupun disaat mengucapkan janji-janji politiknya.

*Penulis adalah Lulusan 1999 UIN Raden Fatah Palembang.(*)

Pos terkait

Settia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *