Mosi Tidak Percaya dan Krisis Etika di DPRD Bone: Ketika Pelapor Menjadi Hakim Bagi Dirinya Sendir

OPINI

Oleh: Irham Ihsan, SH., M.Si Ketua Sompung Lolona Cenrana

Fenomena politik di Kabupaten Bone kembali menjadi sorotan publik. Sebanyak 35 anggota DPRD mengajukan mosi tidak percaya terhadap Ketua DPRD mereka sendiri. Langkah ini, yang konon dilandasi oleh “alasan moral dan kinerja kelembagaan,” justru menimbulkan pertanyaan lebih mendasar: ke mana arah etika politik kita dibawa?

Bacaan Lainnya

Lebih menggelitik lagi, mosi ini kemudian dikabarkan akan dilaporkan ke Badan Kehormatan (BK) DPRD Bone. Padahal, publik tahu bahwa anggota BK itu sendiri adalah para anggota dewan yang sedang aktif menjabat — sebagian di antaranya bahkan ikut dalam gerakan mosi tidak percaya tersebut.

Dengan kata lain, pelapor melaporkan sesuatu kepada pelapor sendiri. Dalam logika hukum, situasi seperti ini disebut conflict of interest — konflik kepentingan yang menabrak prinsip dasar keadilan:

Tak seorang pun boleh menjadi hakim atas perkara yang menyangkut dirinya sendiri.” (nemo judex in causa sua)

Jika pelapor sekaligus menjadi pemeriksa, maka hilanglah objektivitas dan lenyaplah makna kehormatan yang seharusnya dijaga oleh BK itu sendiri. Badan Kehormatan bukanlah alat politik untuk menjustifikasi kepentingan kelompok, melainkan benteng moral untuk menjaga wibawa lembaga. Tetapi di Bone, benteng itu tampak retak oleh kepentingan.

Secara hukum positif, memang tidak ada aturan eksplisit yang melarang anggota BK yang terlibat dalam kasus untuk memeriksa perkara yang sama. Namun, secara etika pemerintahan dan logika hukum publik, praktik semacam ini adalah cacat moral dan cacat etik.

Keputusan yang lahir dari proses seperti itu akan kehilangan legitimasi moral di mata rakyat — sebab publik tidak lagi melihat keadilan, melainkan permainan kuasa.

Dalam sistem demokrasi yang lebih matang, seperti di Inggris, Amerika, atau Kanada, setiap komite etik parlemen memiliki unsur independen yang tidak boleh memiliki kepentingan langsung terhadap perkara yang diperiksa. Bahkan, anggota yang terlibat konflik wajib mengundurkan diri sementara dari keanggotaan komite etik. Prinsip ini sederhana namun mendalam: keadilan harus bukan hanya ditegakkan, tapi juga tampak ditegakkan.

Di Bone, mosi tidak percaya ini seolah menjadi panggung politik baru di mana moralitas dikorbankan atas nama solidaritas politik. Padahal, rakyat tidak menuntut pertunjukan kekuasaan, melainkan contoh keteladanan. DPRD adalah simbol kehormatan rakyat, bukan arena adu strategi antar-kubu.

Jika kehormatan itu dipermainkan, maka bukan hanya Ketua DPRD yang kehilangan wibawa seluruh institusi DPRD Bone ikut runtuh di mata publik.

Sudah saatnya DPRD Bone menata ulang tata etikanya. Setiap lembaga yang ingin dihormati harus lebih dulu menghormati dirinya sendiri. Jangan biarkan Dewan Kehormatan menjadi ironi dari kata “kehormatan”. Karena bila etika sudah dipinggirkan, maka yang tersisa hanyalah permainan kekuasaan tanpa arah moral.

Refleksi Sejarah: Belajar dari Ade Pitue

Sejarah Bone sebenarnya telah memberi pelajaran berharga tentang bagaimana etika dan kekuasaan harus berjalan seiring.

Pada masa Kerajaan Bone, dikenal lembaga tinggi bernama Ade Pitue atau Dewan Tujuh Adat.

Lembaga ini berfungsi sebagai penjaga moral kerajaan, pengontrol kekuasaan, dan penegak keadilan.

Ade Pitue berlandaskan pada sistem Pangadereng — tatanan nilai yang mencakup ade’ (adat), bicara (hukum), rapang (preseden), wari (tata sosial), dan sara’ (agama).

Melalui tatanan inilah mereka memastikan kekuasaan raja dan pejabat kerajaan tetap berpijak pada moralitas dan kepatutan.

Mereka berani menegur bahkan menjatuhkan sanksi kepada pejabat tinggi, termasuk raja, bila dianggap melanggar keadilan rakyat.

Sebuah sikap yang menunjukkan bahwa pada masa lalu, Bone tidak hanya besar karena kekuatannya, tapi karena keadilannya.

Namun kini, nilai luhur itu tampak semakin memudar.

Dewan Kehormatan DPRD seharusnya menjadi penerus semangat Ade Pitue, bukan menodai makna kehormatan dengan konflik kepentingan.

Sebab ketika moralitas dipinggirkan, maka lembaga terhormat pun kehilangan rohnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *