10 Parpol Baru Tidak Lolos ke Parlemen, Bukti Rakyat  Tak Butuh Banyak Parpol

Kurniawan Eka Saputra, S.Sos, SH, MH, yang lebih familiar Eka Rahman, peneliti dan pengamat politik Sumsel dan Bengkulu. Foto: ist.

PLENO penetapan hasil Pemilu 2024 telah dilakukan oleh KPU, dimana berdasarkan hasil perolehan suara secara nasional dan lokal tersebut telah ditetapkan parpol mana saja yang lolos Parliamantary Treshold (ambang batas parlemen) sebesar 4%, untuk mengirim wakilnya di parlemen dan parpol mana yang tidak lolos.

Dari 24 parpol peserta Pemilu 2024 yang terdiri dari 18 parpol nasional, dan 6 parpol lokal di Aceh, sebanyak 8 parpol lolos treshold 4% yaitu : PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, dan PAN. Sedangkan 10 parpol lain yaitu : Partai Buruh (1,1%), Partai Gelora (1,75%), Partai PKN (0,68%),  Partai Garuda (1,05%), PSI (2,78%), Partai Perindo (1,87%), Partai Ummat (1,01%),  PPP (3,87%), Partai Hanura (0,72%) dan PBB (0,31%).

Lalu penyebab ketidak lolosan ambang batas parlemen bagi parpol-2 baru? Sejatinya, sejak ditetapkan Parliamantary Treshold sebesar 4% sudah banyak parpol yang melakukan keberatan. Karena dianggap terlalu tinggi dan tidak mudah bagi parpol baru untuk meraih 4% suara sah nasional dalam Pemilu 2024, bahkan parpol lama seperti PPP, Hanura dan PBB pun terbukti tidak mampu meraih ambang batas tersebut. Beberapa hal ditenggarai menjadi faktor penyebab tidak lolos ambang batas parpol dalam pemilu 2024 setidaknya :

Bacaan Lainnya

Pertama, harus diakui bahwa parpol-2 yang ada saat ini bukanlah ‘parpol yang berbasis kader’. Artinya, kebanyakan parpol tidak memiliki basis massa yang jelas dengan ‘ikatan-ikatan kesamaan ideologi’. Sehingga tatkala parpol baru memenuhi persyaratan administratif dalam UU No.7/2017 seperti : 75% kepengurusan di Kabupaten/Kota dan 50% kepengurusan tingkat kecamatan, hanya dipenuhi untuk memenuhi persyaratan administratif formal/verifikasi saja, tidak secara faktual memenuhi kepengurusan yang riil pada tingkatan tersebut.

Bukan rahasia umum, bahwa untuk lolos verifikasi faktual KPU bisa dilakukan dengan ‘deal-deal’ tertentu. Akibatnya, tatkala memasuki ‘kontestasi real’ dalam Pemilu 2024, mesin politik di tingkat kab/kota dan kecamatan tersebut tidak dapat digerakkan. Karena sejatinya ‘infrastruktur parpol baru’ pada tingkatan itu belum terbentuk.

Kedua, fenomena beberapa parpol baru yang terbentuk sebagai akibat konflik internal dalam parpol. Dimana kemudian banyak tokoh parpol yang membentuk parpol baru seperti : konflik Partai Golkar melahirkan Hanura, konflik PKS melahirkan Partai Gelora, PKN diinisiasi oleh kader Partai Demokrat pasca konflik internal. Sehingga sebenarnya basis massa parpol tersebut harus berbagi dan beririsan dengan parpol yang menjadi ‘induk awal’.

Ketiga, tidak mudah bagi parpol baru untuk memenuhi syarat administrasi infrastruktur kepengurusan 75% dan 50%, di tingkat kab/kota dan kecamatan, sementara pada saat yang sama mereka harus melakukan sosialisasi yang massive kepada seluruh pemilih. Butuh logistik yang kuat dan memadai dari orang-orang dibalik parpol tersebut. Contoh kasus Partai Perindo memiliki kekuatan logistik yang memadai dengan Hari Tanoe, tetapi infrastruktur kepengurusan belum fix, sehingga ‘mesin politik’ belum dapat dimaksimalkan. Demikian juga ‘Jokowi effect‘ pada PSI belum mampu mendongkrak PSI melewati Parliamantary Treshold 4%, meski dalam konteks Pilpres ‘Jokowi effect‘ mampu mendongkrak secara significant raihan suara Prabowo- Gibran.

Keempat,  bahwa kemampuan sebuah parpol untuk melewati ambang batas 4% juga dipengaruhi oleh bagaimana caleg yang bergabung dalam DCT parpol itu. Persoalannya kemudian bagi parpol baru belum cukup untuk memberikan kepercayaan (trust) bagi banyak figur populer dan memiliki potensi keterpilihan (vote getter) untuk bergabung sebagai caleg dalam pemilu. Akibatnya, DCT parpol baru banyak di dominasi politikus pemula yang peluang keterpilihannya masih minim.

Kelima, mungkin butuh lebih dari sekali pemilu (2-3 kali) untuk mempersiapkan parpol baru terkait infrastruktur dan sosialisasi agar bisa lolos parliamantary treshold 4%. Dengan catatan, pasca pemilu parpol-parpol tersebut tetap melakukan kerja-kerja politik untuk mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2029 secara konsisten.

Pada saat yang sama dari sisi efisiensi penyelenggaraan dan demokrasi yang sehat, sebenarnya 8 parpol yang lolos ke parlemen sudah cukup ideal. Karena banyaknya parpol di parlemen tidak secara signifikan berbanding lurus dengan terbukanya ‘ruang-ruang aspirasi yang lebih demokratis dan bermanfaat bagi konstituen’. Bahwa lebih dominan kepentingan parpol, golongan dan personal yang di bawa para legislator di parlemen dibanding kepentingan publik. ‘Putusan para pemilih’ dengan tidak memilih 10 parpol baru dan tidak lolos ke parlemen, dalam batas tertentu adalah pembuktian bahwa ‘rakyat sebagai pemilih tidak membutuhkan banyak parpol di parlemen’ : itu fakta yang tidak dapat di bantah.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *