Panjaratan(KALSEL), SUARA PANCASILA.ID, 13 Juli 2025 — Ketika malam menjemput minggu kedua di bulan Muharram, suasana di Desa Panjaratan berubah menjadi lautan cahaya dan lantunan doa. Dalam tradisi yang telah diwariskan turun-temurun oleh leluhur mereka, warga Panjaratan kembali menggelar Basalamatan Kampung — sebuah ritual tahunan yang tak sekadar seremonial, tetapi juga spiritual dan sosial.
Tradisi ini bukan tradisi biasa. Ia telah hidup dan bernapas bersama denyut kehidupan desa selama puluhan bahkan mungkin ratusan tahun. Dulu, warga menyusuri aliran sungai dengan jukung—perahu khas Banjar—membawa obor dan lantunan zikir, berkeliling kampung dalam gelap yang bersinar oleh cahaya iman. Namun zaman berubah, tradisi ini pun beradaptasi.
Kini, warga berjalan kaki menyusuri kampung, dari ujung ke ujung, melewati jembatan-jembatan ulin yang kokoh dan jalan-jalan kecil yang menyambungkan hati satu dengan yang lain. Di setiap sudut desa, kumandang azan menggema, menyatu dengan lantunan bacaan Al-Qur’an, menghadirkan suasana sakral yang membalut desa dalam kedamaian.
Tak satu pun warga absen. Tua-muda, laki-laki, perempuan, hingga anak-anak tumpah ruah dalam perayaan budaya yang juga sarat makna ini. Mereka membawa bekal masing-masing—ketupat, buras, atau panganan khas lainnya—yang kemudian akan mereka tukar dan santap bersama di masjid. Di situlah puncak dari Basalamatan: bukan hanya doa dan harapan, tapi juga perwujudan kebersamaan dan saling berbagi.
“Sebenarnya bukan soal makanan yang kami bawa,” ujar Aldi, salah satu warga yang rutin mengikuti tradisi ini, “tapi tentang niat, tentang saling mendoakan dan menjaga kampung ini tetap dalam lindungan Allah.” Ia menambahkan, “Basalamatan Kampung ini adalah warisan dari leluhur kami, untuk keselamatan kampung dari bala bencana, dan agar seluruh warga selamat dunia akhirat.”
Di tengah derasnya arus modernisasi dan budaya global, Basalamatan Kampung menjadi semacam jangkar identitas. Ia menegaskan bahwa di Panjaratan, nilai-nilai warisan, doa, dan kebersamaan tetap hidup, tidak hanya dalam cerita, tapi juga dalam tindakan nyata yang dilestarikan bersama.
Inilah cara Panjaratan menjaga jiwanya. Bukan hanya melalui pembangunan fisik, tapi lewat tradisi yang mengakar dalam spiritualitas dan solidaritas. Dan di setiap cahaya obor yang menyusuri malam Muharram, kita melihat cahaya peradaban yang tak pernah padam. (suarapancasila.id-hayat)