NASIONAL,SUARAPANCASILA.ID- Prinsip Maximum Access dan Limited Exemption atau MALE harus dipegang teguh oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dalam implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), karena menjadi kunci akses informasi seluas-luasnya untuk kesejahteraan masyarakat dan dukungan Program Prioritas Nasional.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Informasi Publik, Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media (Ditjen KPM) Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi), Nursodik Gunarjo, dalam Bimbingan Teknis (Bimtek) Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi bagi PPID di wilayah tengah Indonesia dengan tema “Transparansi Layanan Informasi Publik Untuk Percepatan Program Prioritas Nasional” di Denpasar, Bali, Rabu (20/8/2025).
“Pentingnya memegang prinsip MALE, karena UU KIP adalah pilar transparansi dan demokrasi sebagai perwujudan Pasal 28F Undan-Undang Dasar (UUD) 1945 yang juga fondasi utama dalam membangun layanan informasi publik yang terbuka dan akuntabel bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Nursodik Gunarjo.
Ia menegaskan, bahwa UU KIP adalah pilar fundamental bagi tegaknya transparansi dan demokrasi dalam tata kelola pemerintahan.
Nursodik menekankan bahwa UU KIP hadir untuk mewujudkan hak konstitusional setiap warga negara. “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. UU KIP adalah instrumen hukum yang menjamin hak tersebut, menjadikan keterbukaan informasi sebagai ciri utama negara demokrasi yang sehat,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Prinsip utama yang diusung undang-undang ini yakni MALE, berarti membuka akses informasi seluas-luasnya bagi publik dengan pengecualian yang sangat terbatas dan diatur secara ketat.
Prinsip MALE, tutur Nursodik, merupakan terobosan besar yang mengubah paradigma pengelolaan informasi dari yang sebelumnya tertutup menjadi terbuka. “Jika dulu informasi di badan publik dianggap sebagai milik instansi, kini UU KIP menegaskan bahwa informasi itu pada hakikatnya adalah milik publik. Tugas kita adalah memastikan mekanisme aksesnya berjalan dengan cepat, tepat waktu, dan berbiaya ringan,” paparnya.
Pengecualian akses hanya dapat diterapkan jika dibuktikan bahwa keterbukaan informasi tersebut justru akan merugikan kepentingan publik yang lebih besar atau melanggar ketentuan lain yang sah menurut undang-undang.
Sebagai pilar demokrasi, Implementasi UU KIP yang efektif diyakini akan mendorong kesejahteraan masyarakat. “Kemudahan akses terhadap informasi yang benar dan akurat adalah salah satu penentu kesejahteraan. Informasi memungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif dalam pembangunan, melakukan kontrol sosial, dan membuat keputusan yang tepat untuk meningkatkan kualitas hidup mereka,” tambah Nursodik.
Untuk mewujudkan hal ini, pola kerja dan koordinasi antar unit kerja dalam sebuah badan publik harus dibangun dengan solid, dimana Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) berperan sebagai garda terdepan.
Keberhasilan Implementasi UU KIP dan Demokrasi ini juga sejalan dengan upaya pemerintah mencapai Program Prioritas Nasional 2025, khususnya dalam Memperkokoh Ideologi Pancasila, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Layanan informasi publik yang transparan dan accountable merupakan wujud nyata dari penguatan nilai-nilai demokrasi tersebut.
Nursodik berharap, melalui bimtek ini, para PPID dapat semakin memahami posisi strategis mereka sebagai ujung tombak yang menjembatani hak publik terhadap informasi sekaligus mendukung percepatan program-program prioritas pemerintah menuju visi Indonesia Emas 2045.
“Dengan menjadikan UU KIP sebagai pilar, kita tidak hanya membangun transparansi, tetapi juga memperkuat fondasi demokrasi dan kesejahteraan bangsa,” tutupnya.
SUMBER:infopublik.id