Inklusivitas = Stabilitas: Formula Prabowo dari APEC Gyeongju untuk Dunia

JAKARTA, SUARAPANCASILA.ID – Di Gyeongju, Korea Selatan, Pertemuan Para Pemimpin Ekonomi APEC (AELM) 31 Oktober–1 November 2025, kembali menguji arah kerja sama ekonomi lintas-Pasifik di tengah iklim geopolitik yang bergejolak.

Di forum ini, Presiden Prabowo Subianto meletakkan tiga pilar sebagai garis haluan Indonesia: perdagangan multilateral berbasis aturan (WTO) dan gelanggang yang setara, pertumbuhan yang inklusif, serta keberlanjutan sebagai “kompas” kebijakan.

“Indonesia tetap berkomitmen pada sistem perdagangan multilateral berbasis aturan, yang berpusat pada WTO, agar semua pihak berkompetisi di atas gelanggang yang setara,” tegas presiden.

Bacaan Lainnya

Pernyataan itu menyambung pesan sebelumnya, bahwa pertumbuhan yang mengecualikan bukanlah pertumbuhan sejati, dan bahwa inklusivitas harus menjadi tuntunan.

Di forum yang sama, Prabowo juga menggarisbawahi bahaya kejahatan lintas batas. Menurutnya, penyelundupan, penipuan, pencucian uang, perdagangan manusia, dan narkotika dapat merusak stabilitas ekonomi kawasan, sehingga perlu ditangani melalui kerja sama multilateral yang nyata.

Dari Pengurangan Risiko ke Kepastian Aturan

Indonesia membaca derasnya arus fragmentasi. Perang tarif, blok-blok teknologi, sampai penyusutan kepercayaan lintas negara, merupakan risiko nyata bagi rantai pasok dan stabilitas kawasan.

Menjawab itu, Presiden Prabowo memilih jalur pembentukan aturan ketimbang pembuatan tarif. Pesannya sederhana tapi tegas, bahwa forum seperti APEC hanya relevan jika mampu memperkuat kepastian aturan untuk semua, bukan memperdalam sekat melalui kebijakan dagang sesaat.

Di sinilah komitmen pada WTO menjadi jangkar, yaitu transparansi, prediktabilitas, dan penyelesaian sengketa yang kredibel. Tata aturan yang kuat juga menutup celah praktik kotor, mulai pencucian uang hingga penyelundupan yang menggerogoti gelanggang persaingan yang adil.

“Marilah kita bekerja sama… melalui multilateralisme guna memastikan APEC terus memberikan manfaat nyata,” ujar Presiden, sembari mengingatkan bahaya kecurigaan yang menggerus stabilitas.

Kompas kebijakan itu juga relevan dengan konteks KTT di Gyeongju, yang oleh tuan rumah diproyeksikan sebagai sesi konsolidasi, dengan mendorong integrasi ekonomi berkelanjutan melalui tema “Membangun Masa Depan Berkelanjutan: Terhubung, Berinovasi, Maju”.

Dalam ruang yang sama, para pemimpin menegaskan kembali nilai forum 21 ekonomi yang mewakili porsi besar PDB dan perdagangan dunia. Indonesia memosisikan diri sebagai pembangun jembatan: pro-pasar, pro-aturan main, dan pro-inklusivitas.

Bukan sekadar retorika, melainkan strategi untuk menahan guncangan dan menjaga marwah keterbukaan.

Inklusivitas yang membumi

Tak ada inklusivitas tanpa akses. Garis besar yang Presiden Prabowo sampaikan di Gyeongju sedang diterjemahkan ke kebijakan domestik, dengan memperkuat pembiayaan, mempermudah masuk ke pasar pemerintah, dan mempercepat adopsi digital agar pelaku kecil menembus rantai nilai global.

Di sisi pembiayaan, skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) terus dioptimalkan. Termasuk plafon, tenor, dan bunga yang kompetitif, sebagai jembatan formalitas perbankan bagi usaha mikro-kecil yang selama ini terbentur agunan dan biaya modal.

Prinsipnya, berbagi risiko oleh negara agar pelaku kecil bisa tumbuh, bukan sekadar bertahan.

Presiden menegaskan, pertumbuhan adil mensyaratkan lingkungan usaha yang bersih. Ia juga menautkan agenda pemberdayaan UMKM–koperasi dengan tata kelola yang tegas agar pelaku kecil tidak kembali tersisih oleh praktik curang.

“Kita memerangi korupsi, penipuan, dan pebisnis rakus,” ujarnya.

Dari sisi pasar, E-Katalog LKPP mendorong belanja pemerintah untuk “berpihak” pada produk UMK/UMKK. Target historis 40% bukan hanya angka, melainkan desain permintaan yang memberi kepastian pasar untuk produsen kecil, dari alat kesehatan, makanan-minuman, hingga jasa sederhana.

Ini memotong biaya transaksi dan membuka jalan standar mutu agar UMKM naik kelas dan siap memenuhi pesanan skala besar secara transparan.

Digitalisasi menjadi tulang punggung percepatan. Dengan QRIS, jutaan pedagang, mulai dari warung, PKL, hingga penggiat model dagang daring-ke-luring, dapat bertransaksi nontunai secara instan, menekan biaya, dan membangun rekam jejak keuangan yang kelak mempermudah akses kredit.

Per Agustus 2025, Bank Indonesia mencatat pengguna QRIS telah menembus angka 57,6 juta, sementara jumlah merchant sudah melewati 40 juta.

QRIS telah menjadi prasarana yang masif untuk inklusi keuangan dan data alternatif pembiayaan berbasis arus kas. Artinya, inklusivitas bukan lagi slogan. Ia hadir di gawai, di kios-kios, dan di neraca usaha kecil.

Di sisi lain, rantai nilai global tidak menunggu. Dengan pembiayaan yang lebih ramah risiko, pintu pasar pemerintah yang terbuka, dan prasarana digital yang kian merata, UMKM Indonesia punya peluang realistis menjadi pemasok lapis-2/lapis-3 dalam ekosistem manufaktur regional. Dari komponen sederhana hingga layanan pendukung (logistik mikro, layanan purnajual, dan kreativitas digital).

Tugas berikutnya adalah mengurangi hambatan non-tarif di dalam negeri (perizinan, sertifikasi, standar), menyederhanakan logistik antarpulau, dan memperkuat kesiapan ekspor (bahasa, kontrak, penjaminan mutu).

Di titik ini, peran kementerian/lembaga dan pemerintah daerah menjadi krusial agar “inklusivitas” tak berhenti sebagai jargon forum.

Untuk itu, Presiden Prabowo mengingatkan, “kita tidak dapat mengatasi bahaya-bahaya ini sendirian,” dan menekankan perlunya kolaborasi internasional yang konsisten dan tegas.

Keberlanjutan Sebagai Kompas, Stabilitas Sebagai Hasil

Presiden Prabowo menempatkan keberlanjutan bukan sebagai tambahan belaka, melainkan sebagai kompas. Maknanya dua: pertama, memastikan investasi hijau dan efisiensi energi menekan biaya produksi sekaligus emisi; kedua, mendesain agar manfaat perdagangan dan investasi menjangkau semua, supaya tak ada ekonomi yang tertinggal.

Di Asia-Pasifik yang rentan pada guncangan iklim, keberlanjutan adalah strategi pertumbuhan, bukan beban. Ketika manfaatnya merata, tensi sosial mereda; saat tensi mereda, stabilitas meningkat. Dan stabilitas, adalah syarat mutlak bagi perdagangan bebas yang sehat.

Itulah logika “inklusivitas = stabilitas” yang disuarakan Indonesia di Gyeongju.

Pada akhirnya, yang membedakan diplomasi ekonomi yang efektif dengan pidato biasa adalah kemampuan menautkan panggung global dengan dapur kebijakan domestik.

Di APEC 2025, Indonesia mengirim sinyal yang konsisten: membela WTO dan aturan main; mengarusutamakan inklusivitas yang terukur bagi UMKM; dan menempatkan keberlanjutan sebagai strategi daya saing.

Pekerjaan rumahnya juga jelas. Mulai dari memangkas hambatan non-tarif, mempercepat standardisasi, memperkuat peningkatan keterampilan, dan mengonsolidasikan skema pembiayaan yang pro-produktif. Namun kita optimis, karena arah besarnya sudah tepat.

Dari Gyeongju, pesan itu bergema. Keterbukaan dan keadilan perdagangan bukanlah antitesis kedaulatan, melainkan sokoguru kemandirian. Jika inklusivitas menjadi cara kerja bukan sekadar kata kunci, maka stabilitas adalah hasil, dan kemakmuran bersama adalah tujuan yang bukan lagi utopia.

Indonesia memilih berada di pusat arus itu, untuk membangun jembatan, bukan tembok. Dan Presiden Prabowo, akan memastikan bahwa setiap pelaku, sekecil apa pun, punya peluang yang setara untuk tumbuh.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *