PURWAKARTA, SUARAPANCASILA.ID –Pelaksanaan pemungutan suara Pemilu 2024 tinggal menghitung hari. Sekitar 30 hari ke depan atau tepatnya pada 14 Febuari 2024 mendatang, seluruh rakyat Indonesia akan memilih atau memberikan suaranya untuk menentukan para wakil rakyat dan para pemimpin bangsa ini untuk periode lima tahun ke depan.
Namun, dalam setiap hajatan demokrasi itu, ada persoalan yang selalu dihadapi oleh para penyelenggara Pemilu, yaitu soal banyaknya masyarakat yang mengambil sikap untuk tidak ikut memilih atau lazim disebut golput.
Golput atau golongan putih selalu diidentikkan dengan sikap cuek, apatis, atau tidak mau cawe-cawe dengan kondisi politik. Dan akhirnya memilih tidak berangkat ke TPS untuk mencoblos.
Diketahui, angka golput pada Pemilu 2019 lalu, termasuk yang terendah dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 2004. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah masyarakat yang golput pada 2019 sebanyak 34,75 juta atau sekitar 18,02 persen dari total pemilih yang terdaftar. Sementara, pada 2014, jumlah golput sebanyak 58,61 juta orang atau 30,22 persen.
Pada Pemilu 2024, pemilih yang terdaftar didominasi oleh pemilih muda. Berdasarkan data KPU, terdapat 56,4 persen pemilih muda pada pemilu 2024, artinya sudah melebihi setengah dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sayangnya, berdasarkan hasil survei Centre for Strategic and International (CSIS), sebanyak 11,8 persen responden memilih untuk golput.
Padahal, Islam mengisyaratkan bahwa memilih pemimpin itu, hukumnya wajib. Allah SWT berfirman; Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil (QS. An-Nisa 4:58).
Menurut Mahmud Al-Nasafi di dalam buku Tafsir Al-Nasafi dikatakan bahwa perintah di dalam ayat diatas adalah perintah wajib untuk menjalankan amanah Allah SWT yang telah dibebankan kepada manusia, dan termasuk juga kewajiban dalam memilih pemimpin.
“Ayat tersebut cukup tegas menunjukkan pandangan Alquran dalam memilih pemimpin. Ayat ini dapat dianggap sebagai referensi untuk menjawab apakah memilih pemimpin merupakan hak atau kewajiban,” ujar Ketua Pembina DKM Al-Jihad Wanayasa, Dr. H. Suherman Saleh, Ak., M.Sc., CA. pada acara Pengajian Syahriahan, Minggu 14 Januari 2024.
Menurut tokoh yang kerap disapa Uda Herman itu, sasaran ayat di atas ditujukan kepada orang-orang mukmin agar memberikan amanah kepada orang-orang yang sanggup menjalankannya. “Dengan demikian, memilih pemimpin secara otomatis include ke dalamnya, karena pemimpin adalah orang-orang yang dianggap cakap dalam menjalankan amanah,” kata Uda Herman.
Selain ayat di atas, Allah SWT juga berfirman; Wahai orang-orang yang beriman, taati lah Allah dan taati lah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian (QS. An-Nisa: 59). Ahli tafsir Imam At-Thabari mengatakan, bentuk ulil amri pada ayat di atas diarahkan pada kekuasaan, setidaknya pemerintah sebagai kekuatan politik yang fungsinya mengurusi, menangani, dan memerintah masyarakat.
Kata Uda Herman, ayat itu juga menjelaskan hukum wajibnya menaati ulil amri atau pemimpin yaitu orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat.
“Menaati kepala negara adalah wajib, berarti mengangkat pemimpin pun hukumnya wajib, karena jika pemimpin tidak ada, maka kewajiban untuk menaati pemimpin pun tidak bisa dijalankan. Dengan demikian, hukum mengangkat pemimpin pun menjadi wajib,” ujarnya.
Sementara, Hadist Riwayat Abu Daud meriwayatkan, Nabi Muhammad SAW bersabda; Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara kalian menjadi pemimpinnya.
Kalimat bepergian pada hadist tersebut menunjukkan bahwa ketiga orang tersebut mempunyai urusan yang sama (umur musytarakah) yaitu sama-sama hendak bepergian, dan bepergian itu sendiri hukum asalnya adalah mubah (boleh-boleh saja).
“Dari kalimat tersebut bisa ditarik kesimpulan, jika dalam urusan yang mubah saja mengangkat pemimpin hukumnya wajib, tentu dalam perkara yang wajib lebih wajib lagi. Tiga orang saja sudah wajib untuk memilih pemimpin, apalagi dalam konteks negara besar yang berpenduduk jutaan jiwa seperti bangsa Indonesia ini,” kata Uda Herman.
Jadi, berdasarkan ayat Alquran dan hadist Nabi di atas dapat dipahami bahwa memilih pemimpin hukumnya adalah kewajiban, bukan sekadar hak, karena Allah menyuruh orang-orang mukmin untuk melakukannya.
“Kewajiban ini ditambah lagi dengan memilih pemimpin yang berlaku amanah. Sekiranya nilai amanah di antara calon pemimpin tidak ada yang sempurna, maka yang wajib dipilih adalah calon yang paling mendekati kesempurnaan,” katanya.
Menutup, Uda Herman juga mengatakan, karena memilih itu hukumnya wajib, maka pelaksanaan nya menjadi ibadah. “Sebelum mencoblos pilihan, hendaknya kita mengucapkan basmalah dengan keyakinan bahwa yang dicoblos telah memenuhi kriteria pemimpin diatas,” demikian Uda Herman.(*)