SUARAPANCASILA.ID – Kejaksaan Agung (Kejagung) masih mendalami perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. Sejumlah saksi dipanggil untuk dimintai keterangannya.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, mengatakan hari ini penyidik memeriksa sembilan orang saksi. Dua di antaranya merupakan pejabat di Kementerian ESDM.
“BG selaku Koordinator Hukum pada Sekretariat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM dan EED selaku Koordinator Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas pada Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM,” kata Harli dalam keterangannya, Selasa (4/3).
Harli melanjutkan, tujuh saksi lainnya merupakan petinggi anak perusahaan PT Pertamina. Mereka berinisial BMT, TM, AFB, MR, BP, AS, dan LSH.
Namun demikian, Harli masih enggan merinci hasil pemeriksaan tersebut.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” ujarnya.
Dalam kasus ini, sudah ada sembilan tersangka yang dijerat. Mereka adalah enam petinggi di Subholding Pertamina berinisial RS, SDS, YF, AP, MK, dan EC.
Sedangkan tiga tersangka lainnya yakni; MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim; GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.
Kasus ini bermula pada 2018-2023. Saat itu, untuk pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan dalam negeri. Pertamina harus mencari dari kontraktor dalam negeri sebelum membuka opsi impor.
Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
Namun, Kejagung menemukan adanya pengkondisian untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi kilang dalam negeri tidak terserap sepenuhnya. Kondisi tersebut membuat kekurangan kebutuhan minyak mentah. Berujung dilakukannya impor.
Kemudian, pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri juga oleh kontraktor kontrak kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masuk HPS. Selain itu, penolakan juga dinilai karena produksi KKKS tidak sesuai kualitas, padahal faktanya dapat diolah.
Dengan penolakan itu, maka minyak mentah dari KKKS tak terserap. Kemudian malah diekspor ke luar negeri. Di sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah, impor pun dilakukan.
Dalam proses impor ini diduga terjadi pemufakatan jahat, yakni terdapat kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan dapat keuntungan dengan melawan hukum. Hal ini disamarkan seolah-olah sesuai ketentuan. Pemenang broker pun telah diatur.
Ditambah lagi, dalam proses pengadaan produk kilang, PT PPN melakukan pembelian RON 92, padahal sebenarnya yang dibeli yakni RON 90. Kemudian itu, menurut Kejagung, di-blending untuk jadi RON 92 dan dijual dengan harga tersebut.
Selain itu, pada saat dilakukan impor minyak mentah, ada proses mark up kontrak pengiriman. Sehingga pihak BUMN mengeluarkan fee 13-15 persen dan menguntungkan salah satu tersangka dan perusahaannya, Muhammad Kerry Andrianto Riza.
Atas perbuatan para tersangka ini, menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan dijual ke masyarakat. Sehingga, pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi yang lebih tinggi bersumber dari APBN.
Dari hasil penghitungan sementara, kerugian negara yang ditimbulkan dalam perkara korupsi ini mencapai Rp 193,7 triliun. Jumlah tersebut diduga hanya kerugian pada 2023, sementara 2018-2022 masih dihitung.