KABUPATEN TANGERANG (BANTEN) SUARAPANCASILA.ID – Malam Minggu di Balaraja kali ini tidak hanya menjadi ajang berkumpul warga, tetapi berubah menjadi ruang perayaan jati diri. Di bawah langit yang cerah, denyut budaya Banten kembali hidup, menghadirkan suasana hangat yang menyatukan seni, adat, dan rasa cinta terhadap warisan leluhur. Sabtu (13/12/25)
Sejak awal acara dimulai, bunyi kendang khas Banten terdengar mengiringi setiap rangkaian kegiatan. Dentumannya berpadu dengan tiupan terompet Cimande yang khas menggayun, menciptakan suasana sakral sekaligus membangkitkan memori kolektif tentang akar budaya yang tumbuh dari tanah Banten.
Kegiatan ini digagas oleh Riko Filliang, warga Balaraja yang dikenal memiliki kecintaan mendalam terhadap seni dan budaya Banten. Baginya, budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan identitas dan harga diri masyarakat yang harus dijaga bersama.
Dari kegelisahan akan semakin jauhnya generasi muda dari nilai-nilai tradisi, Riko Filliang menggagas “Mahkota TIRAJA Bale Raja”, sebuah ruang pelestarian seni dan budaya leluhur Banten yang lahir dari kesadaran, ketulusan, dan semangat gotong royong masyarakat.
Malam pelestarian budaya ini menampilkan beragam seni tradisional khas Banten yang autentik dan membanggakan. Pencak silat ditampilkan dengan penuh keteguhan, menggambarkan filosofi keberanian, kedisiplinan, dan ketangguhan yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Iringan kendang yang ritmis kembali berpadu dengan tari khas Banten yang anggun dan sarat makna. Setiap gerak penari seolah mengikuti alunan terompet Cimande yang mengalir lembut, mengikat suasana agar tetap khidmat dan penuh rasa.
Tak kalah memukau, pertunjukan debus basah dan debus kering disajikan dengan penuh kehati-hatian dan penghayatan. Atraksi ini tidak semata menjadi tontonan, tetapi juga simbol kekuatan spiritual, pengendalian diri, serta kepercayaan terhadap nilai-nilai luhur budaya Banten.
Yang paling menggugah, para pelaku seni berasal dari anak-anak hingga remaja. Di bawah iringan kendang dan terompet Cimande, mereka tampil penuh percaya diri, menjadi bukti nyata bahwa estafet budaya Banten masih terus berjalan dan diwariskan secara hidup.
Kegiatan ini mendapat pendampingan dari jajaran pengurus Balai Adat Balaraja (Baladraja), di antaranya Ujang Sobur, S.E., M.Si, Didi Rosisi, S.E., M.Si, Heri Djauhari, S.H, dan Zarkasih, S.H, yang berperan menjaga marwah adat agar setiap prosesi tetap berpijak pada nilai leluhur.
Salah satu pendamping kegiatan, Ujang Sobur, S.E., M.Si, yang juga dipercaya sebagai Penasihat Mahkota TIRAJA Bale Raja, menegaskan bahwa pelestarian budaya tidak boleh berhenti pada seremoni semata, melainkan harus menjadi gerakan hidup yang tumbuh dari ruang-ruang komunitas.
“Ketika generasi muda dilibatkan secara langsung dalam kegiatan budaya, maka identitas daerah akan tumbuh kuat dan berkelanjutan. Inilah cara paling sehat menjaga budaya agar tidak tergerus zaman,” ujar Ujang Sobur dalam keterangannya.
Sementara itu, Zarkasih, S.H, yang dipercaya sebagai Pembina Mahkota TIRAJA Bale Raja, menilai kegiatan ini sebagai bentuk nyata kecintaan terhadap budaya Banten yang diwujudkan melalui tindakan. Menurutnya, budaya adalah fondasi karakter masyarakat yang harus dirawat bersama oleh semua unsur.
Melalui Mahkota TIRAJA Bale Raja, Balaraja kembali menegaskan diri sebagai ruang hidup kebudayaan. Dari dentum kendang hingga tiupan terompet Cimande yang menggayun, pesan kuat pun bergema: budaya Banten bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan mahkota yang harus dijaga, dirawat, dan dibanggakan sepanjang zaman.










