LUMAJANG (JATIM), SUARAPANCASILA,ID – Penanganan darurat erupsi Gunung Semeru di Pronojiwo, Lumajang, kembali menuai kritik tajam. Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) melalui Program Monitoring Disaster Impact (MDI) menuding Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang melakukan mismanajemen dan pengambilalihan sepihak Posko Induk Kecamatan Pronojiwo, yang dinilai mencederai semangat relawan kearifan lokal.
Padahal, empat hari sebelum erupsi pada 19 November 2025, relawan lokal di Pronojiwo telah menerima pelatihan intensif dari JKJT-MDI dan terbukti mampu merespons cepat bencana, termasuk memusatkan pengungsi ke SDN Supiturang 04 dan SMPN Pronojiwo 02.
Ketua Umum JKJT yang juga memimpin Program MDI, Agustinus Tedja G. K. Bawana, menegaskan bahwa situasi berubah drastis sejak 25 November 2025. Manajemen Posko Induk Kecamatan Pronojiwo yang semula berjalan efektif di bawah koordinasi Camat dan TRC lokal, diambil alih sepenuhnya oleh BPBD Kabupaten Lumajang.
”Tindakan ini bukan hanya menimbulkan kekecewaan masyarakat, melainkan juga mencederai semangat relawan kearifan lokal yang telah bekerja sejak hari pertama erupsi,” tegas Ayah Tedja sapaan akrabnya, dalam siaran pers resminya yang diterima media pada 26 November 2025.
Laporan yang diterima MDI JKJT dari masyarakat setempat menyoroti sejumlah kejanggalan:
1. Pemaraginalan Relawan Lokal: Relawan lokal yang paham medan dan karakter warga tidak lagi diberi ruang berperan aktif dalam manajemen posko.
2. Alih Fungsi Kantor Kecamatan: Bantuan logistik dialihkan ke kantor kecamatan yang kini beralih fungsi menjadi kantor BPBD.
3. Dugaan Perusakan Nilai Kerelawanan: Relawan lokal yang bekerja atas dasar kemanusiaan justru diposisikan sebagai pekerja bayaran/kuli oleh pihak BPBD, merusak nilai kerelawanan tangguh yang telah dibangun.
Seorang warga Pronojiwo menyampaikan kekecewaannya dalam laporan resmi, dikutip oleh JKJT: “Hari ini kantor Kecamatan Pronojiwo beralih fungsi jadi kantor BPBD. Barang bantuan mulai dipindahkan. Relawan lokal kini dijadikan kuli dan diupah oleh BPBD. Ngeri, Ayah,”.
Agustinus Tedja Bawana mengecam keras tindakan BPBD, menyebutnya sebagai bentuk arogansi kebijakan dan mismanajemen penanganan bencana yang tidak boleh terjadi. Ia menekankan bahwa kearifan lokal adalah kekuatan utama yang semestinya didukung, bukan dikesampingkan.
“BPBD semestinya memperkuat struktur kecamatan tangguh, bukan mengambil alih dengan cara yang melemahkan relawan lokal. Ini bukan hanya salah langkah—ini melukai nilai kemanusiaan,” ujar Ayah Tedja.
Bawana juga menyoroti adanya laporan bahwa warga yang sudah memiliki hunian tetap (Huntap) di Sumbermujur justru memenuhi titik pengungsian, sementara warga terdampak yang mengungsi mandiri di rumah keluarga tidak mendapatkan perhatian yang layak. Menurutnya, penanganan bencana harus mengedepankan komunikasi struktural, koordinasi terpadu, dan pemberdayaan relawan lokal yang sudah paham medan dan psikologi warga.
Menyikapi temuan ini, JKJT dan MDI menyerukan kepada Bupati Lumajang untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh dan bertindak tegas:
1. Mengembalikan fungsi posko kecamatan kepada struktur kecamatan tangguh, sesuai standar manajemen bencana.
2. Menegakkan prinsip kearifan lokal sebagai pilar utama penanganan darurat Semeru.
3. Merehabilitasi kembali semangat relawan yang perannya telah dikecilkan.
4. Memastikan hak warga terdampak—baik yang mengungsi di titik resmi maupun mandiri—dipenuhi dengan adil.
“Kami menginformasikan hal ini kepada publik agar semua pihak dapat melihat persoalan sebenarnya: ada pemahaman yang keliru dalam pengelolaan bencana, dan ini harus diperbaiki bersama,” tutup Ayah Tedja.
Pewarta : Doni Kurniawan
Editor : Denny W










