KAB BREBES (JATENG) SUARAPANCASILA.ID – Pilkada telah lama usai. Suara rakyat sudah berbicara, dan Bupati terpilih, Paramitha Widya Kusuma, resmi menapaki jalannya sebagai pemimpin Brebes untuk periode lima tahun ke depan.
Namun, ada pemandangan menggelikan yang muncul selepas euforia kemenangan: fenomena “ndolop”.
Bagi yang belum akrab dengan istilah ini, ndolop adalah bahasa jalanan yang kini jadi semacam idiom politik lokal. Artinya? Menjilat. Cari muka. Melacurkan integritas demi posisi.
Beberapa dari mereka yang dulu lantang menolak, nyinyir di warung kopi, hingga sibuk memfitnah lewat jalur belakang kini justru jadi barisan terdepan seolah merekalah peletak batu pertama kemenangan Paramitha.
“Waktu perjuangan dulu mereka ke mana? Sekarang nyelonong masuk, minta jabatan. Lha iki jenenge ndolop kelas kakap.”
Antrean ndoloper dadakan bahkan melebihi antrean pelayanan publik. Ada yang menujukan foto lama bareng sang Bupati, ada pula yang bicara tentang ‘dukungan moral’ sebagai bukti loyalitas masa lalu yang entah dari dimensi mana.
Fenomena ini tentu bukan hal baru dalam dunia politik lokal. Tapi di Brebes, kata ndolop kini naik kelas, dari sekadar candaan jadi gejala sosial-politik yang menunjukkan:
– Rendahnya etika berdemokrasi;
– Oportunisme sebagai budaya politik;
– Dan mentalitas “ikut menang tanpa berkeringat”.
Paramitha sendiri, dalam pidatonya, menyebut akan merangkul semua pihak, tapi juga mengingatkan bahwa “loyalitas dan integritas akan diuji bukan dari ucapan, tapi dari jejak langkah di masa lalu.”
Apakah para ndoloper ini akan mendapat tempat di lingkar kekuasaan? Ataukah hanya menjadi catatan kaki sejarah Pilkada 2024 ?
Satu hal yang pasti:, Ndolop adalah pilihan jalan pintas, tapi bukan tiket masuk ke ruang kepercayaan.