KUTA,SUARAPANCASILA.id– Proyek pembangunan hotel extension di kawasan elit Kuta, yang dikelola oleh PT International Trade Center (ITC) dengan label Mercure Extension, kini menjadi pemicu polemik hukum dan etika bisnis yang serius. Proyek kontroversial ini berdiri di atas lahan seluas 9,4 are milik aset negara Universitas Udayana (Unud) dan menuai keberatan keras dari pihak penyanding, sebuah hotel heritage di sebelahnya, yang melaporkan kerugian signifikan akibat pemblokiran total pemandangan laut (ocean view).
Aset tanah Unud ini disewakan kepada PT ITC (sebelumnya PT BITC) melalui skema Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) selama sekitar 30 tahun. Konflik mulai meruncing seiring dugaan pelonggaran persyaratan tata ruang yang dipicu oleh adopsi Peraturan Pemerintah (PP) No. 5 Tahun 2021 ke dalam sistem Online Single Submission (OSS). Aturan sebelumnya disebut-sebut mensyaratkan lahan minimum 40 are dan persetujuan penyanding, namun sistem baru ini ditengarai mempermudah perizinan di lahan yang lebih sempit tanpa persetujuan eksplisit tetangga.

Yang lebih memicu pertanyaan adalah adanya diskrepansi antara tujuan awal proyek dengan realisasinya. Awalnya, proyek yang disosialisasikan oleh Rektor Unud pada September 2024 kepada penyanding adalah pembangunan Laboratorium Universitas Udayana setinggi empat lantai. Namun, bangunan tersebut kemudian bertransformasi menjadi Hotel Extension Mercure dengan 68 kamar, menimbulkan kesan bahwa pemanfaatan aset negara untuk Tri Dharma Perguruan Tinggi telah bergeser menjadi tujuan komersial murni.
Pihak hotel penyanding mengungkapkan bahwa setelah sosialisasi ‘Laboratorium’ tersebut, komunikasi terhenti. Mereka terkejut dengan desain bangunan yang menjulang tinggi, dikhawatirkan akan memblokir pemandangan laut dari fasilitas utama hotel mereka.
Menanggapi hal ini, pihak penyanding telah mengambil langkah hukum yang terstruktur, mulai awal tahun 2025:
-7 Januari 2025: Surat keberatan resmi dilayangkan kepada PT ITC.
-8 Januari 2025: Laporan pengaduan resmi disampaikan kepada DPRD Badung melalui firma hukum Attorney AAT Law Sinaga & Senjaya.
-12 Januari 2025: Surat keberatan kembali disampaikan kepada Kepala Satpol PP.
-20 Februari 2025: Surat keberatan resmi ditujukan kepada Bupati Badung.

Puncak upaya penyelesaian adalah mediasi yang difasilitasi oleh DPRD Badung pada 17 Juni 2025. Dalam mediasi tersebut, dicapai kesepakatan prinsipal untuk mengedepankan asas kekeluargaan dan saling membantu.
Menurut pengakuan Pak Agung, perwakilan pihak penyanding, kesepakatan tersebut menyiratkan bahwa atap bangunan Mercure Extension seharusnya hanya dibangun di sisi kanan dan kiri, memastikan kolam renang (pool) hotel penyanding masih mendapatkan celah pemandangan laut.
Namun, komitmen tersebut dilaporkan telah dilanggar. “Pada kenyataannya pool kami di-block sehingga tamu-tamu tidak lagi bisa melihat pemandangan laut yang di-block oleh atap Mercure Extension,” ungkap I Gusti Ngurah Tiksena.
Tindakan ini dinilai sebagai pengkhianatan komitmen yang dicapai di hadapan lembaga legislatif.
Dampak langsung dari pemblokiran pemandangan laut ini telah dirasakan secara nyata oleh hotel heritage penyanding. Mereka melaporkan penurunan drastis tingkat hunian kamar, yang secara langsung memukul kontribusi pendapatan daerah.
“Kami berharap bisa kembali memberikan kontribusi pajak di atas 10 miliar per tahun dengan tingkat hunian kami yang seperti sebelumnya,” ujar pihak penyanding, menggambarkan kerugian finansial yang dialami.
Sengketa ini kini menjadi studi kasus krusial mengenai implementasi regulasi perizinan baru (OSS), integritas pemanfaatan aset negara (Unud), dan perlindungan hak-hak bisnis penyanding. Pihak penyanding secara formal meminta intervensi dari pemangku jabatan terkait, termasuk Bupati Badung dan DPRD, untuk memfasilitasi komunikasi dan memastikan pembangunan atap tersebut sesuai dengan kesepakatan mediasi demi keadilan dan keberlanjutan ekosistem pariwisata Kuta yang sangat bergantung pada faktor kenyamanan dan keindahan panorama.
AR81










