BREBES (JATENG) SUARAPANCASILA.ID – Ribuan warga Kabupaten Brebes berkumpul secara spontan di dua titik utama, Komplek Kantor Pemerintahan Terpadu (KPT) dan halaman Gedung Islamic Center Brebes. Mereka berkumpul untuk menyatakan sikap tegas menolak kekerasan, menjaga kedamaian, dan memperkuat solidaritas sosial.
Deklarasi ini bukan hasil undangan resmi, bukan pula mobilisasi politik. Warga hadir karena keresahan kolektif pasca kerusuhan 30 Agustus, yang mengguncang stabilitas lokal dan memicu kekhawatiran akan infiltrasi kekerasan dalam ruang sipil. Mereka datang dengan satu tujuan: memastikan bahwa Brebes tidak menjadi ladang konflik, melainkan rumah bagi ketenangan dan persatuan.
Bupati Brebes, Hj. Paramitha Widya Kusuma, menyambut langsung aspirasi warga dengan penuh empati. Ia menegaskan bahwa gerakan ini mencerminkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga ruang hidup bersama.
“Hari ini masyarakat sendiri yang berkumpul dan ingin menemui saya. Mereka ikut prihatin, mereka mengungkapkan keresahan. Warga Brebes menginginkan kedamaian dan persatuan,” ujar Bupati Paramitha.
Komandan Kodim 0713 Brebes, Letkol Inf. Sapto Broto, menyatakan dukungan penuh terhadap inisiatif warga dan menyerukan pentingnya menjaga kondusivitas hingga tingkat lingkungan terkecil.
“Kita samakan persepsi untuk bersama-sama menjaga kondusifitas. Kalau bukan kita yang menjaga Brebes, lalu siapa lagi?” tegasnya.
Kapolres Brebes, AKBP Lilik Ardhiansyah, menilai gerakan ini sebagai wujud nyata dari kesadaran masyarakat, di mana keamanan bukan hanya tugas aparat, tetapi tanggung jawab kolektif.
“Kalau kita kompak, Forkompinda lengkap bisa kompak, dari atas sampai bawah bisa kompak. Maka, Brebes aman dengan kita yang kompak,” ujarnya.
Aliansi Warga Brebes, yang terdiri dari berbagai elemen lokal seperti Pemuda Pancasila, Banser, tokoh masyarakat, dan komunitas pemuda, menyampaikan sikap tegas menolak aksi anarkis. Koordinator aliansi, Budi Raharjo, menegaskan bahwa pelaku kerusuhan bukan representasi warga Brebes.
“Mereka yang merusak fasilitas umum itu bukan warga Brebes. Karena warga Brebes sendiri menginginkan Brebes damai, tidak ada tindakan anarkis, dan tidak ada pengrusakan fasilitas umum yang dibangun dari uang pajak,” katanya.
Akhmad Supendi dari Kelurahan Limbangan Kulon menyoroti bahwa aksi destruktif dilakukan tanpa tuntutan jelas, dan justru merusak fasilitas publik yang menjadi hak bersama.
“Kalau mereka merusak, berarti merusak masyarakat juga. Saya anti anarkis. Saya siap melawan tindakan anarkis,” ucapnya
Deklarasi ini menjadi titik balik penting dalam narasi pasca-kerusuhan. Di tengah kekhawatiran akan politisasi konflik dan penyusupan kekerasan, warga Brebes memilih jalur damai. Mereka tidak hanya menolak anarkisme, tetapi juga membangun struktur sosial baru yang berbasis partisipasi, empati, dan tanggung jawab kolektif.
Gerakan ini menunjukkan bahwa ketenangan bukanlah hadiah dari negara, melainkan hasil dari keberanian sipil dan solidaritas lokal. Brebes tidak menunggu solusi dari atas, tetapi membangun ketahanan dari bawah.
Dengan satu suara, mereka menyampaikan pesan yang menggema: Brebes Anti Anarkis. Brebes Damai. Brebes Beres.