Senandung Senja di Sungai Panjaratan: Di Antara Tarikan Ikan, Bekantan, dan Doa untuk Alam

Panjaratan, TANAH LAUT (KALSEL), SUARA PANCASILA.IDDi ujung barat Pelaihari, tepatnya di Desa Panjaratan, ada sepotong cerita yang mengalir pelan—seperti sungainya yang memantulkan cahaya pagi. Ini bukan kisah besar yang gemerlap oleh sorotan kamera, tapi inilah kisah tentang menyatu dengan alam, tentang mencari ketenangan di antara riak air dan desir angin. Tentang lima sahabat, satu perahu, dan harapan yang terlempar bersama kail.

Masrudi, dengan semangat yang tak pernah tua, memimpin perjalanan kecil itu. “Kami naik perahu mesin menyusuri Sungai Panjaratan, kira-kira 40 menit,” kisahnya. Tidak ada musik, hanya suara alam yang jadi pengiring: gemericik air, bisik pepohonan, dan sesekali, teriakan burung yang terdengar seperti menyapa.

Sungai ini bukan sungai biasa. Ia adalah nadi desa, tempat cerita diwariskan, dan doa diam-diam dipanjatkan. Saat jangkar dijatuhkan ke dasar sungai, suasana mendadak hening. Mereka tahu: inilah saatnya berbicara dengan alam. Cacing jadi umpan, tapi lebih dari itu, mereka melempar harapan. Harapan agar hari ini membawa sesuatu. Bukan hanya tangkapan, tapi juga ketenangan.

Bacaan Lainnya

Dan alam merespons. Tarikan pertama datang, kuat dan tiba-tiba. “Kami yakin itu udang besar!” seru Masrudi, matanya masih berbinar. Tapi seperti banyak hal dalam hidup, yang besar kadang lepas. Udang itu kembali ke dalam gelapnya air, menyisakan tawa dan sedikit rasa penasaran.

Namun sungai Panjaratan, seperti ibu yang penyayang, tidak membiarkan mereka pulang dengan tangan kosong. Seekor lele berbobot 6 ons berhasil mereka angkat. Disusul lais dan fatin—ikan-ikan lokal yang tak hanya lezat, tapi juga jadi bukti bahwa ekosistem sungai ini masih hidup, masih bergairah.

Menjelang petang, langit berubah warna. Jingga menyelimuti langit, memantul di permukaan air seperti lukisan yang sedang bergerak. Perahu perlahan melaju pulang. Tapi sungai belum selesai bercerita.

Tiba-tiba, di antara dahan pohon nipah yang menggantung, tampak gerakan lembut. “Itu… Bekantan!” pekik salah satu dari mereka. Primata berhidung panjang itu muncul, seperti utusan hutan yang ingin mengingatkan: Kami masih di sini. Kami masih bertahan. Bekantan, sang maskot Kalimantan Selatan, berdiri di hadapan mereka, bukan di kandang, bukan di kebun binatang, tapi di rumahnya sendiri—hutan sungai yang semakin sempit.

“Itu pengalaman paling langka. Melihat bekantan langsung di habitatnya… seperti mimpi,” ucap Masrudi, kali ini dengan suara yang nyaris berbisik.

Desa Panjaratan tak hanya kaya akan ikan. Ia adalah simpul kehidupan. Hanya 19 menit dari pusat Pelaihari, tapi terasa jauh dari bising dan sibuknya dunia. Dua jalur bisa menuju ke sana, melalui Desa Telaga, dan melalui Desa Panggung Baru, tapi hanya satu jalan menuju kesadaran: menyatu dengan alam.

Masrudi menutup kisahnya dengan sebuah pesan sederhana namun dalam: “Semoga ikan di Sungai Panjaratan ini tetap lestari. Saya berharap, kita semua ikut menjaga.”

Karena dalam perjalanan itu, mereka tidak hanya membawa pulang ikan. Mereka membawa pulang rasa syukur. Membawa pulang pelajaran: bahwa terkadang, kebahagiaan tak perlu dicari terlalu jauh. Cukup satu perahu, empat sahabat, dan sungai yang tak pernah lelah mengalirkan kehidupan

Pos terkait

Settia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *