Temmapuada Nasaba Mitau: Wajah Sebenarnya Pembiaran Tambang Ilegal

Opini : Irham Ihsan

Ketua Sompung Lolona Cenrana

“Gau mappannessa temmapuada nasaba mitau” adalah kaca bening yang memperlihatkan siapa kita sebenarnya. Nilai Bugis yang turun-temurun ini mengajarkan bahwa bukan kata-kata yang mengungkap jati diri seseorang, melainkan tindakan atau ketiadaan tindakan. Seseorang boleh saja memilih diam, tetapi diam itu sendiri adalah pernyataan; dan sering kali diam lahir bukan dari kebijaksanaan, tetapi dari ketakutan. Nasaba mitau, karena takut.

Bacaan Lainnya

Realitas tambang ilegal di Bone hari ini menegaskan kebenaran falsafah itu. Ketika kerusakan lingkungan terus dibiarkan, ketika sungai-sungai tercemar dan tanah-tanah rakyat dirampas, para penentu kebijakan tampak memilih temmapuada. Mereka tidak bersuara, tidak menegur, tidak menghentikan. Diam yang mereka pertontonkan bukanlah bentuk kehati-hatian, melainkan tanda bahwa ada sesuatu yang lebih mereka takuti daripada amanah rakyat: kekuasaan, posisi, kepentingan gelap, dan kekuatan ekonomi yang membentengi aktivitas ilegal tersebut.

Padahal bagi masyarakat, diam itu lebih lantang daripada ribuan pernyataan. Diam itu sendiri adalah gau, sebuah tindakan. Dan tindakan itulah yang mappannessa, memperjelas keberpihakan, menyingkap integritas, serta menunjukkan siapa yang berdiri bersama rakyat dan siapa yang justru membiarkan mereka terluka. Pembiaran adalah bentuk keberpihakan, keberpihakan pada kezaliman.

Islam memperingatkan hal yang sama dengan lebih tegas. Rasulullah SAW bersabda bahwa siapa pun yang melihat kemungkaran harus mengubahnya: dengan tangan, dengan lisan, atau minimal dengan hati dan diam dalam hati saja adalah selemah-lemahnya iman. Maka bagaimana kita menilai seorang pemegang amanah yang bahkan memilih untuk tidak bersuara? Tambang ilegal bukan hanya pelanggaran hukum; ia adalah kemungkaran yang nyata. Ia merusak bumi yang Allah titipkan, menyengsarakan rakyat kecil, merampas hak negara, dan menghilangkan masa depan anak cucu kita. Mengapa sebagian pemegang kekuasaan justru memilih menutup mata?

Al-Qur’an menegaskan agar amanah ditunaikan dengan adil dan bahwa kita dilarang bersekongkol dalam dosa dan permusuhan. Maka diam terhadap kerusakan jelas bukan pilihan seorang yang memegang nilai iman.

Dalam budaya Bugis, seorang wakil rakyat dituntut menjadi to warani: berani karena benar, menjaga siri’, berdiri tegak untuk rakyat meski menghadapi tekanan. Tetapi ketika mereka temmapuada nasaba mitau, ketika mereka membiarkan tambang ilegal merajalela karena takut, maka siri’ mereka gugur. Nama baik mereka tercoreng bukan oleh lawan politik, tetapi oleh pilihan mereka sendiri untuk tidak bertindak. Sebab keberanian tidak diukur dari suara lantang di podium, tetapi dari keputusan untuk membela rakyat ketika kepentingan gelap menekan.

Akhirnya, falsafah Bugis itu kembali hadir sebagai penegur yang tajam: Gau mappannessa temmapuada nasaba mitau. Diamnya para pemegang kebijakan hari ini bukanlah kebijaksanaan; itu adalah wajah sesungguhnya dari amanah yang dikhianati. Islam menuntut mereka menghentikan kemungkaran. Budaya Bugis menuntut mereka menjaga martabat. Rakyat menuntut mereka berpihak.

Dan sejarah seperti biasa akan mencatat siapa yang diam ketika bumi dirusak, dan siapa yang memilih berdiri melindungi tanah kelahirannya.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *