TANAH LAUT (KALSEL), SUARAPANCASILA.ID – Bagi para petani di Tanah Laut, berkebun dan bertani bukan sekadar pekerjaan, melainkan sumber utama penghidupan. Namun, bagaimana jika jerih payah mereka seketika ludes oleh ternak yang dilepas begitu saja tanpa pengawasan? Itulah realitas pahit yang kini dihadapi masyarakat, terutama di Desa Guntung Besar dan Desa Panggung Baru.
Belakangan, kasus sapi yang merusak tanaman petani kembali menjadi sorotan. Sebuah unggahan viral di media sosial Facebook memperlihatkan seekor sapi yang dengan santainya melahap tanaman padi warga di Desa Guntung Besar, Kecamatan Pelaihari. Sapi itu, tanpa tali pengikat, berkeliaran bebas di sawah, merusak hasil kerja keras petani yang berbulan-bulan dirawat.
Bukan hanya di sana, kejadian serupa juga terjadi di Desa Panggung Baru. Namun, kali ini lebih nekat—sapi diikat langsung di dalam kebun warga tanpa izin. Tak ubahnya tamu tak diundang yang justru menghabisi harta tuan rumah.
Regulasi Jelas, Tapi Mengapa Dibiarkan?
Sebenarnya, aturan soal larangan ternak berkeliaran ini sudah lama ada. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan jelas mengatur bahwa pemilik ternak wajib bertanggung jawab atas hewan peliharaannya. Bahkan, dalam Pasal 66 ayat (2) disebutkan bahwa pemilik ternak harus memastikan hewannya tidak menimbulkan kerugian bagi lingkungan dan masyarakat.
Selain itu, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Tanah Laut juga mengatur hal serupa. Misalnya, dalam Perda tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat, sudah jelas bahwa hewan ternak yang dibiarkan berkeliaran tanpa pengawasan dapat dikenai sanksi.
Lalu, ada pula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan yang menegaskan bahwa pemilik ternak bertanggung jawab penuh atas dampak yang ditimbulkan oleh hewan peliharaannya.
Sanksi Bagi Pemilik Ternak: Tak Bisa Lagi Berlindung di Balik Dalih “Tidak Tahu”
Berdasarkan regulasi yang berlaku, pemilik ternak yang lalai bisa dikenakan sanksi administratif, mulai dari teguran hingga denda. Bahkan, jika kerusakan yang ditimbulkan masuk dalam kategori pidana, mereka bisa dijerat dengan Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang milik orang lain.
Pasal ini mengatur bahwa siapa pun yang dengan sengaja merusak, menghancurkan, atau membuat barang milik orang lain tidak dapat dipakai lagi, bisa dipidana hingga dua tahun delapan bulan penjara. Artinya, jika ternak dilepas dan menyebabkan kerugian besar bagi petani, pemiliknya bisa saja berurusan dengan hukum.
Petani Merugi, Siapa yang Peduli?
Dampak dari ternak yang dibiarkan berkeliaran ini tidak main-main. Seorang petani yang tanamannya dirusak bisa mengalami kerugian jutaan rupiah dalam semalam. Belum lagi biaya pupuk, tenaga kerja, hingga modal yang sudah dikeluarkan.
Ironisnya, ketika petani menuntut pertanggungjawaban, sering kali mereka justru dihadapkan pada perdebatan panjang dengan pemilik ternak yang berlindung di balik dalih “sapi tidak punya akal.” Tapi apakah pemiliknya juga tidak?
Saatnya Pemangku Kebijakan Bertindak, Bukan Sekadar Diam
Kejadian di Desa Guntung Besar dan Desa Panggung Baru ini bukan pertama kali terjadi. Sudah banyak kasus serupa, tapi respons dari pihak berwenang masih sebatas wacana.
Lantas, di mana peran kepala desa? Mengapa RT dan RW tidak mengeluarkan peringatan keras? Camat, dinas peternakan, hingga kepolisian seharusnya turun tangan untuk memberikan sosialisasi dan menindak tegas para pemilik ternak yang lalai. Jika perlu, buat regulasi yang lebih ketat, termasuk denda yang lebih besar atau penyitaan ternak yang sengaja dilepas.
Harapan masyarakat sederhana: keadilan. Jika petani dilarang merusak ternak orang lain, maka seharusnya pemilik ternak juga tidak boleh merusak tanaman petani. Tidak ada alasan lagi untuk membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Jika aturan ada tapi tak ditegakkan, lalu untuk apa aturan itu dibuat?
Penulis : Haku