KOTA MALANG (JATIM), SUARAPANCASILA,ID – Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) bersama Monitoring Disaster Impact (MDI) secara resmi melayangkan surat terbuka dan usulan strategis kepada Presiden Republik Indonesia dan Pimpinan DPR RI. Langkah ini diambil menyusul keprihatinan atas lemahnya koordinasi nasional dan carut-marutnya implementasi mitigasi bencana di lapangan, berkaca pada penanganan banjir besar di Sumatera baru-baru ini.
Ketua Umum JKJT, Ag Tedja Bawana, menegaskan bahwa penguatan sistem kebencanaan tidak boleh diseret ke ranah perebutan pengaruh antar-kementerian. Menurutnya, wacana yang berkembang saat ini—termasuk masukan dari Kementerian Dalam Negeri—berpotensi mengaburkan peran utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
”BNPB adalah focal point. Kita tidak butuh banyak ‘kepala’ dalam bencana. Yang kita butuhkan adalah satu komando yang kuat. Saat ini, kita melihat ada kecenderungan penanganan bencana terjebak dalam paradigma administratif dan seremonial, sementara di lapangan relawan dan rakyat bingung siapa yang harus diikuti instruksinya,” ujar Ag Tedja dalam keterangannya, Jumat (19/12/2025).
Berdasarkan investigasi lapangan di wilayah terdampak banjir Sumatera, MDI menemukan adanya jurang pemisah yang lebar antara diskusi di tingkat pusat dengan realitas di lokasi bencana.
”Mitigasi itu bukan cuma istilah di seminar atau forum akademik. Mitigasi harus menjawab: siapa melakukan apa dan kapan? Fakta di lapangan menunjukkan fungsi komando BNPB belum optimal menerjemahkan teori mitigasi menjadi tindakan operasional yang taktis,” tambah Ag Tedja.
Dalam surat terbuka tersebut, MDI dan JKJT merumuskan enam usulan resmi guna menyelamatkan sistem penanggulangan bencana nasional:
1. Evaluasi Total Tata Kelola Internal BNPB, khususnya pada fungsi komando dan pengambilan keputusan saat status darurat.
2. Penguatan BNPB sebagai Lead Sector, bukan sekadar koordinator administratif yang bisa diabaikan kementerian lain.
3. Standardisasi Incident Command System (ICS) agar seluruh lembaga bekerja dalam satu rantai komando yang utuh.
4. Harmonisasi Regulasi untuk menghapus hambatan birokrasi yang memicu keterlambatan bantuan.
5. Penyamaan Paradigma Mitigasi berbasis kondisi riil, bukan sekadar hafalan teori.
6. Hentikan Pendekatan Seremonial, beralih ke pendekatan operasional yang berdampak langsung pada korban.
MDI dan JKJT menutup pernyataan mereka dengan mengingatkan bahwa keterlambatan mengambil keputusan dalam bencana adalah bentuk kegagalan negara dalam melindungi rakyat.
”Penanganan bencana butuh kecepatan dan kepekaan sosial, bukan sekadar laporan di atas kertas. Kami mendesak Presiden untuk segera melakukan penguatan kewenangan BNPB agar tragedi kemanusiaan tidak terus berulang akibat kelemahan sistem,” tutup Ag Tedja Bawana.
Pewarta : Doni Kurniawan
Editor : Denny W










