JAKARTA, SUARAPANCASILA,ID – Bencana ekologis yang melanda Sumatra baru-baru ini bukan semata-mata diakibatkan oleh curah hujan tinggi, melainkan dipicu oleh akumulasi kerusakan lingkungan yang bersifat sistemik.
Ag Tedja Bawana, Ketua Umum Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT)–Monitoring Disaster Impact (MDI) menguraikan secara rinci empat pilar kegagalan yang membuat Sumatra rentan, menempatkan BNPB pada posisi krusial untuk reformasi mitigasi.
Tedja Bawana menyoroti lemahnya implementasi sistem manajemen bencana di tingkat operasional. Meskipun terdapat banyak pihak yang mengklaim sebagai “ahli” atau “pendekar kebencanaan,” hasilnya di lapangan dinilai nihil (zonk).
”Ketika sistem manajemen respon bencana tidak tahu harus berbuat apa, itu menunjukkan kegagalan struktural, bukan semata-mata kekurangan teknis,” ujar Tedja, dalam keterangan rilisnya yang diterima awak media, Selasa (02/12/2025) siang.
Menurutnya Kegagalan ini tercermin dari:
– Komando yang Buram: Tidak adanya Incident Command System (ICS) yang berfungsi efektif, menyebabkan rantai komando penanganan darurat menjadi tidak jelas dan overlapping.
- Informasi Simpang Siur: Data penilaian cepat (rapid assessment) tidak berjalan optimal, membuat informasi yang sampai ke masyarakat dan tim penolong menjadi tidak valid dan simpang siur.
- Apatis Institusional: Institusi cenderung sibuk dengan “debat status,” rapat, dan seminar, sementara langkah konkrit untuk menolong masyarakat yang terisolasi dan kelaparan terlambat dilakukan.
Ag Tedja Bawana mengajukan pandangan radikal terkait fenomena penjarahan yang terjadi di tengah krisis. Ia memosisikannya sebagai darurat kemanusiaan, bukan pelanggaran hukum biasa.
”Ketika masyarakat yang kelaparan menjarah, itu adalah refleks bertahan hidup, bukan kriminalitas,” tegasnya.
Pernyataan ini menekankan bahwa kelaparan dalam situasi krisis adalah darurat yang harus diatasi negara. Pemerintah dinilai gagal menghadirkan logistik secara cepat dan merata, sehingga masyarakat terpaksa bertindak di luar koridor hukum untuk bertahan hidup. Ini sekaligus menjadi kritik terhadap prioritas negara yang lebih mengutamakan prosedur daripada nyawa manusia.
Meskipun menyadari bahwa BNPB bukan lembaga penindak kejahatan kehutanan, Tedja menekankan bahwa BNPB memiliki mandat hukum yang kuat, sesuai Pasal 21 PP 21/2008, yang mencakup pencegahan, kesiapsiagaan, dan mitigasi, serta pengurangan risiko.
Tedja mendesak agar BNPB keluar dari sikap “netral” terhadap isu kerusakan ekologis. Peran BNPB seharusnya:
- Advokasi Kuat: Bersuara lantang tentang bahaya deforestasi sebagai sumber utama risiko bencana.
- Pengawasan Inter-Instansi: Menegur instansi pemerintah lain (seperti Kementerian LHK atau BPN) yang gagal menjaga ruang hidup.
- Reformasi Tata Ruang: Memaksa penerapan kebijakan tata ruang yang berbasis pada risiko bencana, terutama di wilayah hulu sungai.
”Diam atau ‘netral’ atas kerusakan ekologis adalah kegagalan moral sekaligus kelemahan strategi jangka panjang,” kritik Tedja.
Untuk memulihkan Sumatra, Tedja Bawana menawarkan peta jalan terstruktur yang dibagi dalam tiga fase:
A. Darurat 0–7 hari Komando Terintegrasi (ICS sejati), Drop Logistik Cepat, Jembatan Udara (jika akses darat terputus total), dan pengaktifan Dapur Umum Mobile.
B. Menengah 7–30 hari Pembersihan material berat (log dan batu) dengan alat berat TNI, penyediaan Hunian Sementara Standar (bukan sekadar tenda), dan Pelayanan Trauma Healing Komunitas.
C. Jangka Panjang Permanen Audit Deforestasi Total (Multi-Stakeholder) di seluruh DAS, Moratorium Ketat pembukaan lahan di hulu, Rehabilitasi Massal dengan skema padat karya, dan Reformasi Tata Ruang DAS Sumatra.
Tedja Bawana menutup ulasannya dengan pesan bahwa bencana Sumatra adalah “Bom Waktu” yang diaktifkan oleh kerusakan alam. Permintaan utama masyarakat saat ini adalah kehadiran negara yang nyata, bukan sekadar simbolik atau wacana status bencana.
Pewarta : Doni Kurniawan
Editor : Denny W.










