OPINI
Oleh : Ujang Kaidin (Guru sekaligus Ayah dari 3 Anak Laki – Laki)
SUARAPANCASILA.ID – Di tengah berbagai upaya memperkuat peran keluarga dalam pendidikan, muncul sebuah gerakan sederhana namun sarat makna: ayah mengambil raport anak di sekolah. Gerakan ini bukan sekadar urusan siapa yang datang ke ruang kelas saat pembagian raport, melainkan pesan simbolik tentang kehadiran, tanggung jawab, dan keterlibatan ayah dalam perjalanan pendidikan anak.
Namun, jika kita menengok realitas di Kota Lubuk Linggau, gerakan ini tampaknya masih berjalan pelan. Tidak diterapkan secara merata di setiap sekolah, bahkan belum menjadi kebijakan atau imbauan resmi. Di beberapa sekolah memang terlihat segelintir ayah yang hadir mengambil raport, tetapi jumlahnya masih sangat terbatas.
Selebihnya, pemandangan yang kita jumpai hampir selalu sama dari tahun ke tahun: para ibu duduk rapi menanti giliran, berdialog dengan wali kelas, mendengar catatan akademik maupun sikap anak, sementara ayah absen karena bekerja, atau karena merasa urusan sekolah adalah “wilayah ibu”.
Kebiasaan ini telah mengakar cukup lama dalam kultur kita.
Antar-jemput anak, menghadiri rapat sekolah, hingga mengambil raport, kerap dianggap sebagai tanggung jawab domestik yang melekat pada ibu. Ayah lebih sering ditempatkan sebagai pencari nafkah, bekerja di luar rumah, sementara urusan pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada ibu. Pola ini tentu tidak salah, namun di era sekarang, pembagian peran yang terlalu kaku justru berpotensi mengurangi makna kebersamaan dalam mendidik anak.
Padahal, kehadiran ayah di sekolah memiliki dampak psikologis yang kuat. Bagi anak, melihat ayah datang mengambil raport adalah bentuk pengakuan dan perhatian. Anak merasa jerih payah belajarnya diperhatikan bukan hanya oleh ibu, tetapi juga oleh sosok yang selama ini mungkin lebih sering dilihat berangkat pagi dan pulang malam. Kehadiran ayah juga memberi pesan tegas bahwa pendidikan adalah urusan bersama, bukan tugas satu pihak saja.
Menariknya, jika kita menoleh ke Kabupaten Musi Rawas, ada langkah yang patut diapresiasi. Di sana, Dinas Pendidikan telah mengeluarkan imbauan agar ayah mengambil raport anak. Imbauan ini bukan bersifat memaksa, melainkan ajakan moral agar para ayah lebih terlibat dalam pendidikan putra-putrinya. Langkah ini menunjukkan keberpihakan kebijakan terhadap penguatan peran keluarga, sekaligus upaya mengubah cara pandang lama yang menempatkan pendidikan anak semata di pundak ibu.
Perbedaan ini seakan menjadi cermin bagi Kota Lubuk Linggau. Bukan untuk membandingkan secara berlebihan, apalagi menyalahkan, melainkan sebagai bahan refleksi bersama. Bahwa gerakan ayah mengambil raport bukan soal formalitas kebijakan, melainkan tentang keberanian memulai perubahan kecil yang berdampak besar. Sekolah bisa menjadi ruang awal, pemerintah daerah dapat memberi dorongan, namun pada akhirnya keputusan tetap kembali pada keluarga.
Perlu diakui, tidak semua ayah memiliki keleluasaan waktu. Ada yang bekerja di luar kota, ada yang terikat jam kerja ketat, bahkan ada yang harus berjuang di sektor informal demi memenuhi kebutuhan keluarga. Kondisi ini tentu patut dipahami. Namun, gerakan ini sejatinya tidak menuntut kesempurnaan, melainkan niat dan kesadaran.
Jika tidak setiap semester, mungkin sesekali. Jika tidak selalu ayah, mungkin ayah dan ibu bergantian. Yang terpenting, anak melihat adanya usaha dan perhatian dari kedua orang tuanya.
Di sisi lain, sekolah juga memiliki peran penting. Guru dan kepala sekolah dapat membuka ruang dialog yang lebih ramah bagi ayah, menciptakan suasana bahwa kehadiran ayah adalah hal yang wajar dan diharapkan.
Selama ini, ruang pengambilan raport sering kali terasa “lebih akrab” bagi ibu. Tanpa disadari, ayah merasa canggung atau asing. Padahal, pendidikan anak membutuhkan sinergi semua pihak, tanpa sekat peran berbasis gender.
Gerakan ayah mengambil raport sejatinya adalah gerakan nilai. Nilai kebersamaan, nilai tanggung jawab, dan nilai teladan.
Anak belajar bukan hanya dari buku, tetapi dari apa yang ia lihat. Ketika ayah hadir di sekolah, anak belajar tentang komitmen. Ketika ayah mau duduk mendengar penjelasan guru, anak belajar tentang kerendahan hati dan kesungguhan.
Mungkin saat ini di Lubuk Linggau, gerakan ini masih sebatas inisiatif personal, belum menjadi arus besar. Namun setiap perubahan selalu dimulai dari langkah kecil. Dari satu ayah yang datang, lalu menjadi dua, tiga, dan seterusnya.
Dari sekolah yang berani mengajak, lalu diikuti sekolah lainnya. Hingga pada akhirnya, kehadiran ayah di ruang raport tak lagi menjadi pemandangan langka, melainkan bagian dari budaya pendidikan kita.
Karena sejatinya, raport bukan hanya lembar nilai. Ia adalah potret perjalanan anak, yang idealnya disaksikan dan dipahami bersama oleh ayah dan ibu. Dan ketika ayah mau hadir di sana, sesungguhnya ia sedang menuliskan pelajaran paling berharga dalam hidup anaknya: bahwa ia tidak pernah berjalan sendiri dalam meraih masa depan.










