LHA PSHT Pusat Madiun : Sukseskan Kegiatan Bumi Reog Berdzikir di Ponorogo

MADIUN (JATIM).SUARAPANCASILA.ID – Lembaga Hukum dan Advokasi (LHA) Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Pusat Madiun angkat bicara terkait adanya upaya pembubaran dan pelarangan penggunaan atribut PSHT dalam kegiatan Bumi Reog Berdzikir (BRB) yang akan digelar pada 28 Desember 2025 di Ponorogo.

Melalui pernyataan resmi, perwakilan LHA Fajar Suhoko, S.H. dan Widjajanto, S.H. menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan justru berpotensi menyesatkan publik.

1. Status Hukum Tidak Ditentukan oleh Sarasehan atau Pernyataan Sepihak

Bacaan Lainnya

Fajar Suhoko menekankan bahwa legalitas sebuah organisasi tidak dapat ditetapkan melalui rapat internal, serasehan, atau keputusan sepihak dari kelompok tertentu.

“Legalitas hanya ditentukan oleh instrumen hukum yang sah, bukan opini cabang, bukan pula hasil pertemuan informal,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa klaim-klaim seperti “pihak tidak sah”, “kehilangan legitimasi”, atau “atribut tidak boleh dipakai” tidak memiliki kekuatan hukum apa pun jika tidak didukung:
• Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atau
• Surat keputusan administratif yang sah dan tidak sedang disengketakan.

2. SK Menkumham 2025 Masih Menjadi Objek Sengketa

Salah satu dasar klaim pihak lain adalah SK Menkumham AHU-06.AH.01.43 Tahun 2025.
Namun, menurut Widjajanto, SK ini belum memiliki kekuatan hukum tetap, karena:
1. Sedang menjadi objek sengketa di pengadilan dengan masuknya pihak intervensi,
2. Tidak berlaku asas final and binding,
3. SK administratif bukanlah putusan pengadilan dan dapat dicabut atau dibatalkan.

“Proses peradilan masih berjalan. Karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa satu pihak sah dan pihak lain tidak. Klaim seperti itu prematur dan menyesatkan,” jelas Widjajanto.

Ia menegaskan, status hukum kepengurusan Mas Moerdjoko masih dalam proses pemeriksaan, sehingga tidak dapat disebut tidak sah.

3. Larangan Penggunaan Atribut PSHT Tidak Memiliki Dasar Hukum

LHA PSHT Pusat Madiun juga menyoroti adanya tindakan melarang penggunaan atribut PSHT oleh kelompok tertentu.

Menurut Fajar Suhoko, larangan tersebut:
• Tidak berdasar hukum,
• Tidak memiliki instrumen yuridis,
• Bertentangan dengan prinsip kebebasan berserikat yang dijamin UUD 1945 dan UU Ormas.

“Selama status hukum masih disengketakan, tidak ada satu pun pihak yang boleh melarang atribut dipakai, terlebih PSHT Pusat Madiun memiliki riwayat struktural yang sah dan Kelas 41 berada dalam penguasaan kami,” tegasnya.

Larangan semacam itu justru dapat dikategorikan sebagai:
• Perbuatan melawan hukum,
• Penghalangan kebebasan berserikat,
• Intimidasi organisasi.

4. Ancaman Mobilisasi Massa Bukan Mekanisme Konstitusional

LHA juga menyesalkan adanya seruan mobilisasi massa oleh pihak tertentu dengan dalih menekan penyelenggara BRB.
Menurut Widjajanto:
“Sengketa badan hukum diselesaikan melalui pengadilan, bukan melalui pengerahan massa. Itu bukan mekanisme konstitusional dan justru berpotensi mengganggu ketertiban umum.”

LHA meminta aparat pemerintah dan penegak hukum tidak tunduk pada tekanan kerumunan, melainkan tetap berpegang pada aturan yang objektif.

5. BRB adalah Kegiatan Keagamaan, Bukan Arena Konflik Organisasi

LHA PSHT menegaskan bahwa BRB merupakan kegiatan:
• Keagamaan,
• Sosial budaya,
• Dan tidak ada kaitannya dengan perebutan struktur organisasi.

Menarik kegiatan spiritual ini ke dalam konflik internal dinilai sebagai tindakan:
• Tidak etis,
• Tidak proporsional,
• Dan berpotensi memunculkan stigma negatif di masyarakat.

6. Penegasan Akhir: Sengketa Masih Berproses, Tidak Ada yang Bisa Mengklaim Paling Sah

Baik SK 2022 maupun SK 2025 saat ini masih dalam proses sengketa di ranah peradilan administrasi.
Karenanya:
• Tidak ada pihak yang berhak menyatakan dirinya satu-satunya yang sah,
• Tidak ada pihak yang boleh melarang penggunaan atribut organisasi yang sedang disengketakan,
• Tidak ada legitimasi hukum untuk memakai ancaman mobilisasi massa sebagai dasar tekanan.

LHA PSHT Pusat Madiun mengimbau seluruh pihak untuk menghormati proses hukum, menjaga kondusivitas, serta tidak menyampaikan narasi sepihak yang dapat memecah masyarakat.

Dengan demikian, acara BRB diharapkan berjalan damai, khusyuk, dan tetap pada esensi awalnya: kegiatan keagamaan yang membawa keteduhan bagi masyarakat Ponorogo dan sekitarnya.( JTI/yan )

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *