OPINI.
Sejak reformasi, peran wakil kepala daerah kerap menjadi perdebatan. Dibanyak daerah, termasuk Purwakarta, posisi ini lebih sering menjadi pelengkap daripada mitra strategis dalam pemerintahan. Beberapa periode kepemimpinan menunjukkan bahwa wakil bupati tidak hanya minim kewenangan, tetapi juga sering kali tidak muncul dalam berbagai alat peraga resmi pemerintahan.
Hal ini bukan tanpa alasan. Secara regulasi, posisi wakil kepala daerah memang tidak diberikan kewenangan mandiri. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa tugas utama wakil bupati adalah membantu bupati menjalankan roda pemerintahan. Artinya, tanpa pelimpahan tugas dari bupati, wakil kepala daerah cenderung tidak memiliki ruang gerak yang luas.
Sejarah yang Berulang.
Di Purwakarta, dinamika ini sudah berlangsung lama. Konflik terbuka pernah terjadi di era Lili Hambali (2003-2008) dengan Dedi Mulyadi yang saat itu menjadi wakil bupati. Setelah itu, pola yang sama terus berulang: wakil bupati berada di posisi pasif. Saat Dedi Mulyadi menjabat sebagai bupati (2008-2018), wakilnya, Dudung B. Supardi (2008-2013) dan Endang Koswara (2013-2018), nyaris tidak terdengar. Begitu pula saat Anne Ratna Mustika (2018-2023) memimpin bersama Haji Aming.
Kondisi ini kemudian berubah ketika Saepul Bahri Binzein dan Abang Ijo Hapidin memimpin Purwakarta. Ada upaya untuk menampilkan pola kepemimpinan yang lebih sinergis. Binzein mulai mendelegasikan beberapa tugas kepada wakilnya, sesuatu yang jarang terjadi di pemerintahan sebelumnya. Bahkan, melalui unggahan di media sosial, ia menunjukkan bahwa hubungan keduanya tetap solid, membantah rumor adanya ketegangan di internal pemerintahan.
Gebrakan Baru.
Selain berbagi tugas, keduanya juga aktif turun langsung ke lapangan. Binzein dengan program “Gosrek”, mengajak warga untuk bergotong-royong membersihkan lingkungan. Sementara itu, Abang Ijo Hapidin menggagas program “Lapor Bang Wabup”, sebuah inisiatif yang memungkinkan masyarakat menyampaikan keluhan secara langsung. Beberapa laporan sudah ditindaklanjuti, menunjukkan bahwa posisi wakil bupati mulai lebih terlihat dalam pemerintahan.
Jika dilihat dari teori kepemimpinan modern, pola ini sejalan dengan _Shared Leadership Theory_ yang dikembangkan oleh Pearce and Conger. Dalam konsep ini, kepemimpinan tidak hanya berada di satu tangan, tetapi dibagi agar organisasi lebih efektif dan responsif. Jika model ini terus diterapkan, ada peluang besar bagi pemerintahan Purwakarta untuk menjadi lebih kolaboratif dan inklusif.
Namun, politik selalu memiliki dinamika tersendiri. _Political Conflict Theory_ yang dikemukakan Ted Gurr menjelaskan bahwa konflik politik sering kali muncul akibat ketidakseimbangan antara ekspektasi dan realitas kekuasaan. Semakin besar peran yang diberikan kepada wakil bupati, semakin besar pula kemungkinan ada pihak yang merasa terganggu atau mencoba mengambil keuntungan dari potensi konflik yang muncul.
Sejarah menunjukkan bahwa disharmoni antara kepala daerah dan wakilnya sering dimanfaatkan sebagai alat politik. Upaya adu domba bisa datang dari dalam maupun luar pemerintahan. Di sinilah masyarakat perlu berperan sebagai pengawas. Jangan sampai upaya membangun pemerintahan yang lebih kolaboratif justru terganggu oleh manuver politik yang tidak produktif.
Menanti Perubahan Nyata.
Masyarakat tentu berharap agar peran wakil bupati tidak sekadar menjadi pelengkap, tetapi benar-benar berkontribusi dalam pemerintahan. Namun, seberapa besar perubahan ini bisa berlangsung dalam jangka panjang, sepenuhnya bergantung pada komitmen pemimpin daerah.
Apakah mereka siap mempertahankan pola kepemimpinan berbagi seperti yang mulai terlihat saat ini? Atau justru akan kembali ke pola lama, di mana peran wakil bupati hanya sekadar nama di lembaran resmi pemerintahan? Jawabannya akan ditentukan oleh dinamika politik Purwakarta ke depan.
Penulis: Agus Sanusi, M.Psi. adalah Dosen dan Pengamat Kebijakan Publik di Purwakarta.