MethaneSAT Hilang di Angkasa, Pemantauan Emisi Metana di Ujung Tanduk

INTERNASIONAL,SUARAPANCASILA.ID- Hilangnya satelit MethaneSAT senilai 88 juta dolar AS yang digunakan untuk mendeteksi emisi gas metana dari industri minyak dan gas menjadi pukulan bagi upaya transparansi dan pengawasan emisi global. Satelit ini didukung oleh Jeff Bezos dan dioperasikan bersama dengan Environmental Defense Fund (EDF). Sejak Maret 2024, MethaneSAT telah mengumpulkan data emisi dan citra dari lokasi pengeboran, jaringan pipa, hingga fasilitas pengolahan di berbagai belahan dunia. Proyek ini juga bekerja sama dengan Google untuk menyusun peta emisi global yang dapat diakses publik. MethaneSAT dinilai mampu memberikan data yang lebih rinci dan akurat dibanding satelit pemantau lainnya. Namun sekitar 10 hari lalu, satelit tersebut keluar dari jalur dan kehilangan daya. Lokasi terakhirnya terdeteksi di atas wilayah Svalbard dan Norwegia. EDF menyatakan kemungkinan besar satelit tidak dapat dipulihkan. “Kami menganggap ini sebagai kemunduran, bukan kegagalan,” ujar Amy Middleton, Wakil Presiden Senior EDF, dikutip dari Reuters, Senin (7/7/2025).
Ia menegaskan bahwa pihaknya telah banyak belajar dari proyek ini. Jika tidak berani ambil risiko, maka mereka takkan mendapatkan pengetahuan tersebut.
Gas metana merupakan gas rumah kaca yang sangat kuat, dengan kemampuan memanaskan bumi 80 kali lebih besar dibanding karbon dioksida dalam periode 20 tahun. Ilmuwan menyebut menutup kebocoran dari sumur dan peralatan minyak-gas sebagai salah satu cara tercepat untuk mengatasi pemanasan global. MethaneSAT sendiri merupakan bagian dari kampanye EDF untuk memantau pelaksanaan janji lebih dari 120 negara yang pada 2021 menyatakan komitmen mengurangi emisi metana. Satelit ini juga ditujukan untuk menindaklanjuti kesepakatan 50 perusahaan minyak dan gas dalam KTT Iklim COP28 di Dubai, Desember 2023, yang berjanji menghentikan emisi metana dan praktik pembakaran gas secara rutin. Saat ini, EDF telah melaporkan hilangnya satelit kepada sejumlah lembaga federal Amerika Serikat, termasuk Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA), Komisi Komunikasi Federal (FCC), dan Angkatan Luar Angkasa AS. Meskipun belum ada kepastian mengenai peluncuran satelit pengganti, EDF menyatakan akan tetap memanfaatkan sumber daya lainnya, seperti pesawat yang dilengkapi alat pendeteksi metana, untuk melanjutkan pengawasan kebocoran gas.
Menanggapi kejadian ini, Ember Energy menyatakan kekecewaannya. Mereka menilai hilangnya satelit pemantau dapat memperlemah pengawasan terhadap salah satu sumber emisi gas rumah kaca yang besar namun tersembunyi itu. “Ini adalah kemunduran yang mengecewakan. Karena emisi metana dari tambang batu bara sering kali tidak dilaporkan atau diabaikan, kita justru membutuhkan lebih banyak, bukan lebih sedikit alat untuk mendeteksi dan memantau emisi ini,” ujar Dr Sabina Assan, senior analyst coal mine methane di Ember kepada Kompas.com. Menurutnya, satelit merupakan salah satu dari sedikit cara yang bisa diandalkan untuk melacak ancaman tersembunyi ini secara independen. Kekhawatiran ini juga muncul di tengah berkurangnya tekanan terhadap para pihak penyumbang emisi besar, menyusul langkah Presiden AS Donald Trump yang menghentikan program pelaporan emisi dan mencabut aturan era Biden yang bertujuan membatasi emisi metana dari industri.

SUMBER: KOMPAS.COM

Pos terkait

Settia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *