Perda Perlindungan Pekerja Brebes Terancam Jadi Dokumen Mati di Laci Birokrasi

KAB BREBES (JATENG) SUARAPANCASILA.ID – Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Brebes Nomor 8 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) menuai sorotan tajam dari kalangan aktivis. Regulasi yang diteken Penjabat Bupati Iwanuddin Iskandar itu dinilai terlalu ambisius karena mengatur hampir seluruh aspek ketenagakerjaan, mulai dari perencanaan tenaga kerja, pelatihan, hubungan kerja, hingga perlindungan PMI.

“Regulasi ini bagus di atas kertas, tapi kalau tidak ditopang sistem, anggaran, dan pendampingan, ya hanya jadi dokumen mati di laci birokrasi,” ujar aktivis ketenagakerjaan, Dedy Agustian, Sabtu (20/9/2025).

Perda ini memuat sejumlah ketentuan penting terkait tenaga kerja lokal. Setiap pemberi kerja, termasuk pelaku UMKM, diwajibkan menyusun Perencanaan Tenaga Kerja Mikro (PTK Mikro) sebagai dasar pengelolaan SDM. Selain itu, pengusaha yang mempekerjakan minimal 10 orang diwajibkan membuat Peraturan Perusahaan, dan semua hubungan kerja harus dicatat di Dinas Ketenagakerjaan.

Bacaan Lainnya

Perda juga mengatur hak-hak pekerja secara rinci, seperti larangan menahan dokumen pribadi, kewajiban mendaftarkan pekerja ke BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, serta perlindungan bagi pekerja perempuan hamil agar tidak dipekerjakan malam jika berisiko. Struktur dan skala upah, THR, dan fasilitas kesejahteraan diatur dalam perda ini.

Namun menurut Dedy, sejumlah ketentuan dalam Perda belum realistis jika diterapkan tanpa dukungan. “UMKM di Brebes itu bukan perusahaan besar. Mereka tidak punya HRD, tidak tahu cara bikin PTK Mikro, dan belum tentu paham soal BPJS Ketenagakerjaan,” katanya.

Ia menyarankan agar pemerintah menyediakan pendamping lapangan, memberi format PTK Mikro yang sederhana, dan mengadakan pelatihan gratis secara berkala. “Kalau disiapkan begitu, UMKM akan merasa terbantu, bukan dipaksa,” tambahnya.

Dedy juga menyoroti lemahnya pengawasan. Jumlah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sangat terbatas, belum tersebar merata, dan minim fasilitas. “Kalau pengawasnya cuma ada di provinsi, tidak ada sistem pelaporan, tidak ada yang turun ke lapangan, ya sanksi itu cuma ancaman di atas kertas,” tegasnya.

Perda ini turut mengatur hak mogok kerja, penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan pembentukan lembaga bipartit dan tripartit. Namun, Dedy menilai belum ada kejelasan soal mekanisme mediasi dan perlindungan bagi pekerja yang mogok. “Kalau mogok kerja dianggap ancaman, bukan hak, itu bisa jadi alat represi. Harus ada jaminan hukum dan peran mediator yang jelas,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya sistem laporan digital yang mudah diakses oleh pekerja, serikat buruh, maupun warga. Pemerintah juga perlu menambah jumlah pengawas dan melengkapi mereka dengan kendaraan operasional, alat inspeksi, serta pelatihan berkelanjutan. “Kalau pengawasnya langsung turun ke lapangan, sistemnya jelas, dan masyarakat bisa ikut melapor, baru sanksi bisa efektif. Kalau tidak, pelanggar akan tetap merasa aman,” katanya.

Bagian lain yang menjadi sorotan adalah perlindungan terhadap PMI. Brebes dikenal sebagai salah satu daerah pengirim PMI terbesar di Jawa Tengah. Namun perangkat desa yang ditugasi memantau proses migrasi justru tidak dibekali pengetahuan maupun dana. “Desa disuruh jaga pintu migrasi, tapi tidak dikasih kunci, tidak dikasih peta, sih buat apa?” ucap Dedy.

Ia mendorong agar pemerintah daerah menyiapkan posko migrasi tenaga kerja di desa, melatih perangkat desa tentang hukum dan administrasi migrasi, serta memberi mereka kapasitas untuk memverifikasi data CPMI, memantau keberangkatan, dan mendampingi kepulangan. “Kalau desa dibekali, maka kasus-kasus PMI non-prosedural bisa dicegah sejak awal,” katanya.

Dedy menegaskan, Perda ini bisa menjadi instrumen kuat jika dijalankan dengan serius. Ia memberikan tujuh saran agar Perda tidak sekadar menjadi formalitas hukum:

1. Bentuk tim koordinasi lintas instansi yang fokus mengawal implementasi Perda.

2. Susun peta jalan (roadmap) dengan target tahunan yang terukur.

3. Berikan insentif bagi perusahaan patuh, seperti prioritas izin usaha atau akses program bantuan.

4. Kembangkan sistem informasi ketenagakerjaan terpadu yang bisa diakses publik.

5. Tambahkan alokasi anggaran untuk pengawas ketenagakerjaan dan perangkat desa.

6. Libatkan masyarakat dan serikat pekerja dalam proses pengawasan.

7. Revisi pasal multitafsir, seperti soal hak mogok kerja, agar sesuai dengan UU Serikat Pekerja dan Konvensi ILO.

“Tenaga kerja itu bukan objek regulasi. Mereka subjek pembangunan. Kalau mau lindungi mereka, jangan cuma bikin pasal. Bangun sistemnya, libatkan masyarakatnya, dan pastikan ada anggarannya,” pungkas Dedy.

Ia berharap Perda Nomor 8 Tahun 2024 bisa menjadi lebih dari sekadar dokumen hukum, melainkan alat perubahan sosial yang memperkuat ekonomi lokal, melindungi hak-hak pekerja, dan menciptakan tata kelola ketenagakerjaan yang adil dan berkelanjutan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *