LUBUKLINGGAU, SUARAPANCASILA.ID – Kembali terulang seakan tak pernah habisnya, kejadian penarikan kendaran yang menggunakan jasa Mata Elang atau Debt colektor diwilayah Sumatra selatan dengan cara yang kurang pantas yang menimbulkan kegaduhan, sehinga mengakibatkan terjadi tindak kekerasan yang membuat heboh masyarakat.
Hal ini seharusnya Menjadi PR yang sudah lama bisa diselesaikan, langkah langkah dari semua pelaku kepentingan seakan tidak menghasilkan solusi yang kongkrit.
Penarikan barang objek fidusia, dengan cara mediasi ataupun pendekatan lainnya belum dapat terlaksana sepenuhnya, contoh tindakan penarikan objek pada nasabah yang kreditnya tingal satu atau dua bulan, tetapi tetap dilakukan dan hal itu meningalkan masalah pada pihak konsumen yang solusinya sampai saat ini, tidak Ada.
Sehinga merugikan konsumen seperti” black list” sehinga konsumen tidak dapat mengajukan kredit kembali walaupun kredit itu tingal satu bulan lagi.
Adapun tindakan menunggak langsung dilakukan eksekusi. tidak diatur dalam perjanjian kredit, yang semestinya diatur dalam perjanjian kredit.
Kalau pun dicantumkan konsumen akan menyadari apabila memakai perusahaan pembiayaan ini kalau satu bulan nunggak akan dilakukan pengamanan objek fidusia, Jadi yang benar itu pengamanan bukan penarikan.
“Gunanya pengamanan agar konsumen masih punya hak, Jangan setelah ditarik tidak ada cerita,” papar H.Nurussulhi Nawawi yang biasa di sapa “Nun” yang juga aktifis pengiat perlindungan konsumen, Ketika dihubungi awak media.
Adapun ketentuan yang mengatur penarikan objek fidusia yaitu di OJK. Bahwa pelaku penarikan objek fidusia wajib bekerjasama dengan pihak ketiga yang berbadan hukum PT.
“Jadi tidak boleh collector internal leasing,tapi oleh pihak ketiga yang berbadan hukum, yang mana mereka sudah mendedikasikan dirinya sudah mengikuti tata cara penarikan objek fidusia. Tidak boleh premanisme, tidak boleh menggunakan aplikasi mata elang, karena aplikasi mata elang belum tentu berafiliasi dengan leasing yang memiliki objek fidusia,” himbaunya.
Sekarang ini, kata H. Nun, ada aplikasi mata elang. Apapun kepentingan leasing pada suatu perjanjian yang konsumennya nunggak pembayaran akan ditindaklanjuti Mata Elang.Jadi ketika ada kendaraan yang nunggak pembayaran melintas di wilayah mereka maka akan dieksekusi.
“Ketika berhasil menyita kendaraan yang nunggak, mereka ini dibayar oleh leasing,” jelas Nun.
Seharusnya ketika akan dilakukan pengamanan objek fidusia, kata dia, dan terjadi perlawanan maka pihak debt collector harus minta pendampingan pihak kepolisian,bukan kepada orang yang tidak memiliki kompetensi.
Apalagi kalau yang akan diamankan milik anggota Polisi. Artinya mereka minta pendampingan dengan Propam. Maka dari itulah sewajibnya pihak leasing bekerjasama dengan pihak debt collector yang berbadan hukum dan yang memiliki kompetensi untuk melakukan pengamanan objek fidusia.
“Jika terjadi perlawanan dari konsumen maka penyelesaianya lewat pengadilan. Rujukannya pengadilan. Tidak bisa dipaksakan ditarik. Rujukan regulasinya sudah ada tapi prakteknya di lapangan tidak dilakukan,” ungkapnya.
“Seperti kejadian di Palembang terjadi perlawanan dari konsumen yang merupakan oknum anggota Polisi. Kalau mereka sudah mengetahui harusnya minta pendampingan Propam. Atau mereka menggunakan jasa Mata Elang yang memang berbadan hukum sehinga tindakan yang dilakukan lebih humanis”. Lanjut Nun
Lain lagi yang disarankan aktifis perlindungan konsumen GARDA PK dan sekaligus ketua Pemuda Pancasila Kota Lubuklinggau Alfiansyah Hasan, beliau menyarankan “ketika peristiwa itu terjadi juga disaksikan istri Dan anak mereka, nah hendaknya konsumen juga melaporkan kepada Unit PPA Pelayanan Perempuan dan anak dikepolisian apabila mereka merasa terintimidasi oleh perlakuan mereka yang bersikap arogan yaitu pemaksaan, pengancaman, perampasan, bisa dijerat KUHP mengenai pengancaman pada umumnya diatur dalam Bab XXIII tentang Pemerasan dan Pengancaman Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mengenai ancaman kekerasan diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP, Perampasan pasal 365 KUHP dapat diancam dengan hukuman paling lama 9 tahun,dan perkara perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana diatur Pasal 335 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat dilakukan penahanan meskipun ancaman hukumannya paling lama 1 (satu) tahun. (*)