Partai Politik Indonesia Pragmatis, Langka Partai Ideologis / Partai Kader

OPINI, SUARAPANCASILA.ID – Etika Demokrasi pola _“One Man One Vote_ dan terbuka” melahirkan Partai Politik berideologi Pragmatis yang dipengaruhi oleh pandangan di barat pada waktu itu bahwa ideologi telah mati (Ramlan Surbakti:1992).

Sejak reformasi elit politik kita larut dalam Ideologi Pragmatis, seperti diungkapkan ahli *Lopalombara Weiner* yang mendefinisikan partai Indonesia sekedar kelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk _“merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin materil dan idiil kepada para anggotanya”._
Kedua ilmuwan tersebut mengabaikan faktor ideologi sebagai motivasi dan pemersatu sebuah partai.

Walau Politik Pragmatis bukan merupakan suatu pelanggaran, namun rekrutmen dan kaderisasi sebagai fungsi normatif partai dialpakan.

Bacaan Lainnya

Sejak reformasi secara tiba-tiba menjelang pemilu banyak partai politik melamar tokoh-tokoh terkenal untuk mau diusung tanpa melalui proses pengkaderan panjang sebelumnya, walaupun hal tersebut mencederai pengkaderan partai itu sendiri. Kader karbitan dengan dasar donasi terhadap suara partai, hingga banyak kalangan pengusaha, mantan koruptor yang tiba-tiba menjabat posisi strategis di struktural partai terbiasa dilakukan.

Menurut *Giovanni Sartori,* ilmuwan politik dari Italia, politik di Indonesia menganut sistem pluralisme, yaitu *Pluralisme ekstrem,* karena mempunyai banyak kutub atau sistem banyak partai yang saling berjarak jauh dan bertentangan, sangat terpolarisasi (kutub kiri: sosialis, kutub kanan: Islam dan Kristen, demokrasi dan radikal, kutub tengah: nasionalis), dan dorongan aktifitas politik yang sentrifugal (menjauh dari pusat). Sistem tersebut Menambah kesuburan tumbuhnya Pragmatis Politik. Dalam arti kata sejak Amandemen UUD 1945, lahirlah celah untuk sarana Politik Pramagtis, Politik Uang dalam setiap PEMILU hingga Pemilu 2024.

Bila Tokoh Politik, cendekiawan, dan ilmuwan Kampus terfokus khusus pada kecurangan cara Perekrutan suara rakyat di TPS dan hasil Pemilu, dan menggunakan Pedoman Bawaslu RI sedangkan Bawaslu berpedoman kepada UU yang dibuat DPR, sama saja kalau Suara Rakyat diibaratkan seperti Air Mengalir dari Hulu ke Hilir, maka Pengamanan Air Mengalir dilakukan hanya di Hulu saja, sedangkan air mengalir disebut _“Panta Rhei”_ Fisafat “Herakleitos” (aliran dari kiri kanan ada dan abadi/ Strategi Tim Sukses) tidak diawasi, banjir bandang akan menimpa Hilir sehingga masyarakat dalam setiap Pesta Demokrasi akan kembali mendapat PESTA “Rumah sakit Jiwa”.

Semoga anggota DPR 2024 sadar dan menyesali sikap membiasakan yang salah hingga mereka yang terpilih ke Senayan berani keluar dari zona nyamannya memperbaiki Sistem Pemilu kita (UU Pemilu), yang secara Revolusi Mental mengutamakan musyawarah, bukan voting, hingga PILPRES 2029 mendatang terhindar dari angket-angketan yang mempermalukan Demokrasi Pancasila. (Jarus)

Pos terkait

Settia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *