Simak dan cermati analisis peneliti sekaligus pemerhati politik Sumsel dan Bengkulu, Kurniawan Eka Saputra atau Eka Rahman berikut ini.
MUSI RAWAS, SUARAPANCASILA.ID – Masih ingat dengan judul berita salah satu media lokal terkemuka di Bumi Silampari (meliputi Kabupaten Musi Rawas, Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Musi Rawas Utara/Muratara) ketiganya merupakan daerah berhimpitan dan sebelum pemekaran satu kesatuan dalam wilayah Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan, Minggu (10/3/2024).
Berita berjudul ‘Pilkada 2024, Ratna Machmud Sulit Cari Pasangan, Lily Maddari Calon Potensial, terbit di Linggaupos.Co.Id pada edisi 19 November 2022. Yang pada pokoknya mendeskripsikan peluang politik petahana (Incumbent) Bupati Hj Ratna Machmud dalam bursa Pilkada 2024.
Analisis dan pandangan peneliti sekaligus pengamat Politik Kurniawan Eka Saputra yang lebih dikenal dengan Eka Rahman masih relevan untuk disajikan kembali kepada masyarakat Musi Rawas yang tak lama lagi akan memilih Bupati dan Wakil Bupati pada Pilkada serentak November 2024 nanti.
Menurut Eka Rahman, meski pelaksanaan Pileg dan Pilkada tahun 2024 dilaksanakan pada tahun yang sama, dengan tahapan yang beririsan. Namun tidak mesti pada setiap daerah hasil pileg berkorelasi secara signifikan dan sebangun dengan pemetaan kekuatan pada menjelang pelaksanaan keserentakan Pilkada 2024.
Jika di Kota Lubuklinggau, hasil Pileg menggambarkan ‘anatomi’ kekuatan dan kesiapan figur untuk berkontestasi dalam Pilkada misalnya: kemenangan Partai Golkar dengan 6 (enam) kursi menjadikan Ketua DPD Golkar H. Rodi Wijaya (HRW) memiliki self confident (rasa percaya diri _red) yang kuat untuk berpartisipasi dalam Pilkada Kota Lubuklinggau 2024.
Demikian halnya dengan H. Rahmat Hidayat (Ketua DPC Partai Nasdem) dan Hendri Juniansyah (Ketua DPC Partai Gerindra) yang masing-masing meng–collect 5 (lima) kursi legislatif, sudah mendeklarasikan statement keikut sertaannya dalam pilkada kepada publik.
Sebaliknya, dinamika serupa tidak terbangun dalam konstalasi politik lokal Kabupaten Musi Rawas. Keberhasilan Partai Golkar ‘menggusur’ PDIP dari posisi Ketua DPRD Musi Rawas hasil Pemilu 2024, dengan raihan kursi yang sama sebanyak 7 (tujuh) kursi (menang suara). Tidak secara otomatis menempatkan nilai tawar (bargaining power) Ketua DPD Partai Golkar Firdaus Ceolah ‘menguat’ dalam peta kontestasi Pilkada Musi Rawas. Demikian halnya, dengan figur representasi dari PDIP (apakah Ketua DPC Soni Rahmat Widodo atau Ketua DPRD petahana Azandri, S.IP).
Berbeda dengan peraih posisi ke-3 perolehan suara yaitu Partai Gerindra, meski hanya meraih 6 (enam) kursi dengan ‘bonus’ posisi wakil ketua 2 (Waka-2) dalam komposisi pimpinan DPRD. Namun bargaining power Ketua DPC Partai Gerindra Hj. Suwarti (wabup petahana) relatif menguat dalam kontestasi. Mungkin impact dari kemenangan pasangan paslon Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di konstelasi pusat. Sehingga mereka juga membutuhkan fondasi dan dukungan kekuatan pada tingkat daerah (provinsi dan kab/kota) untuk stabilitas, kondusivitas, maupun sinergitas pemerintahannya kelak.
Beberapa faktor ditenggarai menjadi latar belakang penyebab antara lain :
Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang mewajibkan mundurnya anggota DPR, DPD, dan DPRD ketika mencalonkan diri dalam Pilkada. Sangat berdampak pada ‘animo’ para ketua partai petahana atau caleg terpilih seperti : Firdaus Ceolah, Azandri, Suhari, Supandi, Yudhi Pratama maupun figur lain yang sedang menjabat. Karena status aleg yang berhasil di raih dengan ‘berdarah-darah’ pada pileg 2024 harus di lepas, padahal tidak ada jaminan (guarantee) bahwa mereka akan memenangkan kontestasi Pilkada.
Kontras bilamana dibandingkan dengan Putusan MK Nomor 17/PUU-VI/2008 yang menjadikan petahana Kepala Daerah tidak perlu mundur ketika mencalonkan diri dalam pilkada dan cukup cuti saja. Sehingga figur petahana kepala daerah seperti Bupati Musi Rawas Hj. Ratna Machmud maupun Wakil Bupati Hj. Suwarti, dapat ikut kontestasi ‘tanpa ada resiko’ melepas status sebagai petahana.
Kedua, policy internal parpol yang memberikan rekomendasi untuk pilkada pada figur lain diluar pimpinan dan aleg parpol. Misalnya, dalam kasus Musi Rawas, dimana rekomendasi DPP Partai Golkar justru diberikan kepada Hj. Ratna Machmud, bukan kepada Firdaus Ceolah (FCO) selaku ketua DPD. Akibatnya, jika FCO men-declare ikut kontestasi Pilkada Musi Rawas, maka bisa jadi akan di anggap sebagai sikap ‘perlawanan/pembangkangan’ terhadap ‘garis partai’ yang mungkin saja berimplikasi pada status sebagai ketua DPD atau aleg. Meski surat mandat ini dapat dievaluasi pasca Pileg 2024, namun tetap saja menjadi ‘batu sandungan’ bagi effort FCO ikut kontestasi Pilkada Musi Rawas.
Ketiga, pada saat yang sama figur yang dianggap “kuat’ di PDIP seperti Azandri memiliki basis jaringan dukungan/kekerabatan yang sama dengan petahana. Sehingga akan terjadi ‘irisan-irisan’ pada konstituen keduanya.
Demikian halnya dengan figur parpol peraih suara signifikan lain : Ketua DPC Partai Nasdem adalah suami petahana. Praktis dari sisi parpol yang menjadi ‘ancaman’ tinggal Partai Gerindra dan PKS.
“Analisis diatas membawa kesimpulan bahwa petahana Hj. Ratna Machmud diuntungkan oleh regulasi maupun situasi yang mengantarnya pada : minimnya penantang potensial sebagai bakal calon Bupati Musi Rawas,” papar Eka Rahman kepada, Suarapancasila.id, Minggu (10/3/2024).
Dari sisi parpol tersisa Gerindra dan PKS, dari sisi figur potensial menyisakan Wabup petahana Hj. Suwarti dan (mungkin) caleg terpilih Partai Nasdem Provinsi H. Hendra Gunawan. Di luar itu, sepanjang pengetahuan, tidak ada figur potensial yang bisa mengancam posisi petahana. Baik dari dukungan parpol, popularitas/elektabilitas, logistik, networking maupun akses pada pemda dan APBD, terang Eka Rahman.
Jika nantinya, kontestasi menyisakan 2 kontestan potensial yaitu : Hj. Ratna Machmud dan Hj. Suwarti berhadapan secara head to head. Maka figur siapa yang akan menjadi pasangan mendampingi kedua menjadi faktor penting yang akan menentukan peluang kemenangan.
Tentu dengan kriteria bahwa siapapun bacawabup harus mengisi kelemahan dan kekosongan yang dimiliki. Apakah dari sisi popularitas/elektabilitas, parpol, networking, mix basis jaringan dukungan, status gender, politik identitas maupun logistik (bohir).
Misalnya: Hj. Ratna Machmud bisa menjajaki koalisi dengan PKS dan menggaet figur kadernya seperti Supandi, Suhari, atau figur lain dengan berbagai pertimbangan.
Sebaliknya, Hj. Suwarti bisa menjajaki koalisi dengan PDIP dan menggaet kader seperti : Azandri, Yudi Pratama atau bisa jadi tokoh lain dari birokrasi yang direkom oleh PDIP.
Akhirnya, bahwa analisis di atas masih sangat ‘premature‘ mengingat tahapan Pilkada 2024 yang baru mulai. Di sisi lain, dinamika politik sangat liquid dan membuka ruang bagi banyak perubahan dan ‘kejutan-kejutan’ politik lain. Baik dalam konteks koalisi parpol maupun munculnya figur baru yang potensial.(*)