Simbolisasi Kesejahteraan bagi Sebagian Masyarakat Kepulauan Sangihe, Mengenang Tradisi Kubur Batu

SANGIHE (SULUT) SUARAPANCASILA.ID-Masyarakat Pulau Sangihe Besar memiliki tradisi yang unik untuk mengubur orang mati dengan batu. Ini adalah bagian dari ritual untuk membawa orang yang meninggal ke dunia roh.

Proses kuburan batu biasanya dilakukan dalam rentang waktu seminggu hingga tiga puluh hari setelah jenazah dimakamkan, tergantung pada kesepakatan keluarga selama proses pengambilan batu. Namun, batu yang digunakan dalam geologi disebut kekar lembar, yang biasanya ditemukan di pantai desa Makalekuhe.

Dalam buku Sangihe Menyelami Kehidupan Agraris dan Maritim di Nusa Utara karya Jajang Agus Sonjaya dan kawan-kawan menjelaskan tradisi ini telah ada sejak ribuan tahun lalu. Tradisi ini masih bertahan hingga tahun 1985.

Bacaan Lainnya

Sebuah survei menunjukkan bahwa ada 700 kubur batu di empat desa di Pulau Sangihe: Bawuniang, Laine, Lepapahe, dan Pananaru.

Robert Londananung dari Desa Bawuniang menceritakan pengalamannya saat dia berusia tujuh tahun. Saat itu, dia melihat sendiri masyarakat melakukan tradisi kubur batu.

“Lebih dari tiga perahu berangkat dari Desa Bawuniang menuju pantai di pulau kecil Tamako untuk mengambil batu-batu besar,” jelas Robert.

Robert menceritakan batu-batu itu memiliki bobot mencapai seribu kilogram. Batu-batu itu sudah memiliki lapisan-lapisan sehingga memudahkan masyarakat untuk memotong dan mendaftarkannya dengan betel.

Batu-batu yang sudah dipotong lalu diapit dengan pohon pinang kemudian dikaitkan ke bagian bawah perahu. Batu dibiarkan terendam di dalam air untuk nanti lebih ringan saat dibawa.

“Dari proses pengangkutan ini, muncul mitos bahwa batu-batu untuk kubur tersebut bisa mengapungkan perahu. Padahal yang terjadi sebaliknya,” paparnya.

Dalam tradisi kubur batu ini, warga Sangihe memainkan peran masing-masing, mulai dari laki-laki yang mengangkut batu, wanita yang menyiapkan makanan, sesepuh membaca mantra, dan anak-anak bersorak bersama.

Pria Sangihe biasanya meminum tuak sebelum mengangkut batu untuk menunjukkan kekuatan mereka.

“Saat mengangkat batu, seringkali terjadi saling dorong dan saling tendang sehingga menyulut emosi satu sama lain,” paparnya.

Alffian Walukow, seorang pemerhati sejarah Sangihe, menjelaskan bagaimana tradisi kubur batu dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, pihak duka mengundang orang untuk datang, lalu mereka memindahkan batu dari pulau lain, dan kemudian mereka menutup batu hingga berbentuk makam.

Menurut ide, kuburan ini mirip dengan kubur batu karena memiliki kaki penopang di empat sisi dan penutup di bagian atas. Namun, bahan yang digunakan adalah semen.

Karena banyak tamu yang datang dari satu kampung, pihak duka harus mengeluarkan banyak uang untuk pesta di kubur batu.

“Upacara ini membutuhkan biaya besar untuk makan, menghabiskan waktu hingga berminggu-minggu, dan sering kali menimbulkan perkelahian,” jelas Alffian.

Belakangan ketika agama Kristen masuk ke Pulau Sangir. Tradisi ini dilarang secara bertahap oleh pendeta karena dianggap lebih banyak membawa celaka daripada manfaat.

“Dalam konteks masa lalu upacara penguburan itu menjadi simpul sosial dan ekonomi, sekaligus sebagai simbol keberhasilan hidup, sejahtera. Sebab hanya orang makmur yang bisa melakukan tradisi ini,” jelasnya.(Jody Sampelan)

 

 

Pos terkait

Settia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *